JAKARTA, POSNEWS.CO.ID – Sudah lama banyak pihak menyebarkan anggapan bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk yang egois. Kita dicap kejam, kompetitif, dan selalu haus akan kekuasaan serta materi. Akibatnya, banyak yang memandang kebaikan hanya sebagai topeng untuk motif tersembunyi. Buku terkenal Richard Dawkins, The Selfish Gene, yang dirilis pada 1976, turut mempopulerkan pandangan suram ini.
Buku tersebut seolah membenarkan semangat individualistis dan kompetitif pada zamannya. Dasarnya ia ambil dari psikologi evolusioner, yang berteori bahwa sifat-sifat manusia modern terbentuk di zaman prasejarah—sebuah era yang mereka bayangkan sebagai pertarungan brutal untuk bertahan hidup.
Namun, bagaimana jika asumsi dasar itu keliru?
Mitos Kehidupan Prasejarah yang Kejam
Pandangan tradisional menyatakan bahwa di zaman prasejarah, hanya individu yang paling egois dan kejam yang bisa bertahan hidup. Lebih lanjut, persaingan memperebutkan sumber daya seperti hutan dan hewan liar diyakini memicu rasisme dan peperangan.
Kenyataannya, bukti sejarah menunjukkan gambaran yang sangat berbeda. Sekitar 15.000 tahun yang lalu, dunia sangat sepi. Para ahli memperkirakan populasi seluruh Eropa hanya 29.000 orang, sementara populasi dunia kurang dari setengah juta. Saat itu, nenek moyang kita hidup sebagai pemburu-peramu dalam kelompok-kelompok kecil. Dengan kepadatan populasi yang begitu rendah, kecil kemungkinannya mereka harus bersaing sengit untuk mendapatkan sumber daya.
Pelajaran dari Masyarakat Pemburu-Peramu Modern
Bukti kuat juga datang dari masyarakat pemburu-peramu kontemporer, yang gaya hidupnya mencerminkan kehidupan prasejarah. Antropolog Bruce Knauft mencatat bahwa kelompok-kelompok ini menunjukkan “kesetaraan politik dan seksual yang ekstrem.” Mereka tidak menimbun harta dan justru memiliki kewajiban etis untuk berbagi segalanya.
Sebagai contoh, orang !Kung di Afrika bagian selatan punya cara unik untuk menjaga kesetaraan. Sebelum berburu, mereka bertukar anak panah. Ketika seekor hewan berhasil dibunuh, pujian tidak jatuh kepada si pemanah, tetapi kepada pemilik anak panah tersebut. Jika ada anggota kelompok yang menjadi terlalu dominan, anggota lainnya akan mengucilkan orang itu.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Selain itu, dalam kelompok-kelompok ini, laki-laki tidak mendikte perempuan. Perempuan memiliki otonomi tinggi, sehingga mereka bebas memilih pasangan, menentukan pekerjaan, dan memiliki hak asuh atas anak-anak mereka jika pernikahan gagal.
Sifat Asli Manusia: Kerja Sama dan Altruisme
Banyak antropolog percaya bahwa masyarakat egaliter seperti !Kung adalah norma hingga beberapa ribu tahun yang lalu. Oleh karena itu, sifat-sifat seperti rasisme, perang, dan dominasi laki-laki tidak akan banyak berguna di era prasejarah. Justru, individu yang egois dan kejam akan lebih sulit bertahan hidup karena kelompok akan mengusir mereka.
Maka, lebih masuk akal untuk melihat kerja sama, kesetaraan, dan altruisme sebagai sifat bawaan manusia. Inilah sifat-sifat yang dominan selama puluhan ribu tahun dalam sejarah kita.
Lalu, mengapa manusia modern bisa begitu egois? Jawabannya mungkin terletak pada perubahan lingkungan dan psikologis. Penelitian menunjukkan bahwa ketika habitat alami primata seperti gorila terganggu, mereka cenderung menjadi lebih ierararkis dan keras. Hal yang sama mungkin terjadi pada kita. Berakhirnya gaya hidup berburu-peramu dan munculnya pertanian memicu perubahan psikologis: munculnya rasa individualitas yang baru, yang pada akhirnya melahirkan keegoisan, masyarakat hierarkis, dan peperangan.
Pada akhirnya, sifat-sifat negatif ini tampaknya berkembang begitu baru dalam sejarah kita sehingga sulit untuk menjelaskannya sebagai takdir evolusi. Sifat asli kita mungkin jauh lebih baik dari yang kita duga.
Penulis : Ahmad Haris Kurnia
Editor : Ahmad Haris Kurnia