JAKARTA, POSNEWS.CO.ID – Negara-negara Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) menghadapi sebuah dilema strategis. Posisi mereka berada di jantung kawasan paling dinamis di dunia. Mereka kini terjepit di antara dua kekuatan raksasa: Amerika Serikat sebagai penyedia keamanan tradisional, dan Tiongkok sebagai mitra ekonomi yang dominan.
Posisi sulit ini memaksa negara-negara ASEAN melakukan tarian diplomatik yang rumit. Setiap pilihan kebijakan dapat menarik mereka lebih dekat ke Washington atau ke orbit Beijing. Ini adalah pilihan yang sebagian besar dari mereka berusaha keras untuk hindari.
Payung Keamanan Amerika
Selama beberapa dekade setelah Perang Dunia II, Amerika Serikat telah menjadi pilar keamanan di Asia Tenggara. Kemitraan ini tetap kuat, terutama bagi negara yang berkonflik langsung dengan klaim maritim Tiongkok di Laut China Selatan.
- Penyeimbang Tiongkok: Bagi negara seperti Filipina dan Vietnam, kehadiran militer AS sangat penting. Kehadiran ini berupa patroli kebebasan navigasi (FONOPs), latihan militer bersama, dan penjualan senjata. Semua itu menjadi penyeimbang penting terhadap ketegasan Tiongkok.
- Aliansi Tradisional: Hubungan pertahanan yang telah lama terjalin, seperti dengan Thailand dan Singapura, memberikan jaminan keamanan. Mereka juga mendapat akses ke teknologi militer canggih.
Washington secara konsisten memposisikan diri sebagai penjamin tatanan berbasis aturan. Narasi ini disambut baik oleh negara-negara yang khawatir dengan kekuatan Tiongkok yang terus membesar.
Magnet Ekonomi Tiongkok yang Tak Terelakkan
Namun, sementara AS menawarkan keamanan, Tiongkok menawarkan kemakmuran. Secara ekonomi, Tiongkok adalah kekuatan dominan di kawasan ini.
- Mitra Dagang Terbesar: Tiongkok adalah mitra dagang nomor satu bagi hampir semua negara ASEAN. Ketergantungan pada pasar, investasi, dan rantai pasok Tiongkok sangat besar.
- Infrastruktur dan Investasi: Melalui Belt and Road Initiative (BRI), Tiongkok menyalurkan miliaran dolar. Dana ini untuk proyek infrastruktur di seluruh kawasan, dari jalur kereta api di Laos hingga pelabuhan di Indonesia.
Bagi para pemimpin ASEAN, menjaga hubungan baik dengan Beijing adalah sebuah keharusan. Ini bukan lagi pilihan. Tujuannya adalah mendorong pertumbuhan dan stabilitas domestik.
Berjalan di Atas Tali: Seni Hedging
Menghadapi tekanan dari dua arah, negara-negara ASEAN telah menjadi ahli dalam seni hedging. Ini adalah strategi untuk tidak sepenuhnya memihak salah satu kekuatan. Praktiknya terlihat jelas. Satu hari, sebuah negara mungkin menjadi tuan rumah latihan militer bersama AS. Keesokan harinya, mereka menandatangani kesepakatan dagang besar dengan Tiongkok.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Strategi ini memungkinkan mereka memaksimalkan keuntungan dari kedua belah pihak. Mereka juga dapat meminimalkan risiko terjebak dalam konflik proksi. Namun, persaingan AS-Tiongkok yang meningkat membuat ruang bermanuver semakin sempit. Tekanan untuk “memilih pihak” pun semakin kuat, mengancam prinsip netralitas ASEAN.
Masa Depan Sentralitas ASEAN
Dilema ini menjadi ujian terbesar bagi prinsip “Sentralitas ASEAN”. Blok ini berusaha menjadi pengemudi utama dalam arsitektur regional. Pertanyaannya, mampukah ASEAN terus mengelola persaingan ini untuk kepentingannya sendiri? Atau akankah kawasan ini hanya menjadi arena pasif bagi pertarungan hegemoni Washington dan Beijing?
Jawabannya akan menentukan masa depan ASEAN serta stabilitas dan kemakmuran di seluruh kawasan Indo-Pasifik.
Penulis : Ahmad Haris Kurnia
Editor : Ahmad Haris Kurnia