JAKARTA, POSNEWS.CO.ID — Selama lebih dari 75 tahun, Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) telah berdiri sebagai aliansi militer paling sukses dalam sejarah. Namun, di balik persatuannya, sebuah dilema fundamental terus menguji soliditasnya. Terjadi tarik-menarik antara ketergantungan Eropa pada payung keamanan AS dan dorongan ambisius Eropa untuk mandiri secara strategis.
Ketegangan ini bukanlah hal baru. Akan tetapi, isu ini menjadi semakin tajam di tengah pergeseran geopolitik global, ancaman Rusia yang bangkit kembali, dan dinamika politik internal di kedua sisi Atlantik.
Pilar Amerika: Penjamin Keamanan yang Tak Tergantikan
Sejak berdiri pada 1949, NATO secara efektif bertumpu pada kekuatan militer Amerika Serikat. Washington memiliki anggaran pertahanan, teknologi superior, dan payung nuklir yang jauh melampaui anggota lainnya. Hal ini menjadikan AS sebagai penjamin utama keamanan Eropa.
Negara-negara di sayap timur NATO, seperti Polandia dan negara-negara Baltik, paling merasakan ketergantungan ini. Bagi mereka, kehadiran militer AS adalah jaminan paling kredibel untuk menangkal agresi Rusia. Mereka selalu memandang setiap pembicaraan tentang pengurangan peran Amerika dengan kecemasan mendalam.
Dorongan Otonomi Strategis Eropa
Di sisi lain, kekuatan besar Eropa seperti Prancis dan Jerman semakin vokal menyuarakan perlunya “otonomi strategis”. Gagasan ini tidak berarti meninggalkan NATO. Sebaliknya, mereka ingin membangun kapasitas militer dan industri pertahanan Eropa agar mampu bertindak mandiri jika kepentingan strategis mereka berbeda dari Washington.
Beberapa faktor memotivasi dorongan ini. Pertama, pergeseran kebijakan luar negeri AS menimbulkan keraguan. Slogan “America First” di era Donald Trump dan fokus strategis Washington ke Indo-Pasifik membuat komitmen jangka panjang AS tidak pasti. Kedua, para pemimpin seperti Presiden Prancis Emmanuel Macron berpendapat bahwa Eropa harus memiliki suara yang lebih kuat dan mandiri di panggung dunia.
Rintangan Menuju Kemandirian
Meskipun ambisi ini kuat, jalan menuju otonomi strategis Eropa penuh rintangan.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
- Kesenjangan Anggaran dan Kapabilitas: Sebagian besar negara Eropa masih gagal memenuhi target belanja pertahanan 2% dari PDB yang NATO sepakati. Akibatnya, mereka kekurangan kapabilitas militer krusial yang selama ini AS sediakan, seperti angkutan udara strategis, intelijen, dan pengintaian.
- Perpecahan Politik Internal: Tidak semua negara Eropa memiliki visi yang sama. Negara-negara Eropa Timur cenderung lebih pro-Atlantik. Mereka skeptis terhadap otonomi yang Prancis dan Jerman pimpin, karena khawatir hal itu akan melemahkan NATO dan jaminan keamanan AS.
Ujian dari Perang di Ukraina
Invasi besar-besaran Rusia ke Ukraina pada 2022 secara paradoksal menyoroti kedua sisi dilema ini. Perang tersebut menunjukkan betapa vitalnya peran AS. Washington memimpin respons NATO, menyalurkan bantuan militer masif, dan menyediakan data intelijen penting bagi Ukraina. Ini kembali menggarisbawahi ketergantungan Eropa.
Namun, perang ini juga menjadi lonceng peringatan yang menyadarkan Eropa.i lain, perang ini ju Eropa.tan yangropa. Jerman mengumkataran pertahanan secara drastis, dan ne dan meningkatk Negara-negara di seluruh benua pun mulai memprioritaskan keamanan. Hal ini berpotensi mempercepat langkah Eropa menuju kedaulatan militer.
Pada akhirnya, masa depan NATO bukanlah tentang memilih antara Washington atau kemandirian Eropa. Aliansi ini harusn baru. Sebuah Eropa yang leb dan mampu secara milimenjadi mitra yang lebih setara dan efektif bagi Amerdi da AS.mbangan itu akan menjadi tantangan diplomatik dan strategis terbesar bagi NATO di abad ke-21.
Penulis : Ahmad Haris Kurnia
Editor : Ahmad Haris Kurnia