BELGIA, POSNEWS.CO.ID – Selama beberapa dekade, Eropa menjadi pusat kebijakan luar negeri dan strategi keamanan Amerika Serikat. Namun, pergeseran lempeng tektonik geopolitik sedang terjadi. Kebijakan Washington yang semakin fokus pada Indo-Pasifik—strategi yang dikenal sebagai “Pivot to Asia”—telah memicu kecemasan mendalam di seluruh ibu kota Eropa.
Pergeseran ini memaksa Eropa untuk menghadapi pertanyaan eksistensial. Di dunia di mana Tiongkok adalah prioritas utama Amerika, mampukah Eropa menjaga relevansinya dan menjamin keamanannya sendiri?
Latar Belakang “Pivot to Asia”
Kebijakan “Pivot to Asia” bukanlah hal baru. Strategi ini dimulai sejak era Obama dan terus diperkuat oleh pemerintahan-pemerintahan berikutnya. Logikanya sederhana: pusat gravitasi ekonomi dan strategis dunia telah bergeser ke Timur. Kebangkitan Tiongkok menuntut perhatian, sumber daya, dan kehadiran militer Amerika yang lebih besar di kawasan Indo-Pasifik.
Bagi Washington, ini adalah permainan strategis jangka panjang. Namun bagi Eropa, pergeseran ini memiliki implikasi langsung. Washington kini mengalihkan sumber daya militer, diplomatik, dan finansialnya ke Asia, yang sebelumnya dialokasikan untuk Eropa.
Dampak bagi Keamanan Eropa
Pergeseran fokus Amerika Serikat menciptakan dilema keamanan yang serius bagi Eropa.
- Keraguan atas Komitmen AS: Para pejabat AS berulang kali menegaskan komitmen mereka terhadap NATO. Namun, pengalihan aset militer seperti kapal induk dan jet tempur canggih ke Pasifik mengirimkan sinyal yang berbeda. Hal ini menimbulkan keraguan, terutama di kalangan negara Eropa Timur, tentang seberapa cepat AS akan merespons krisis di Eropa.
- Tuntutan “Berbagi Beban” yang Lebih Besar: Selama bertahun-tahun, Washington telah mendesak sekutu Eropanya untuk lebih banyak berinvestasi dalam pertahanan. Dengan fokus pada Tiongkok, tuntutan ini kini memiliki urgensi lebih besar. AS secara implisit mengatakan bahwa Eropa harus mampu mengurus “halaman belakangnya” sendiri.
Respons Para Pemimpin Eropa
Menghadapi kenyataan baru ini, Eropa tidak tinggal diam. Para pemimpin di seluruh benua sedang merumuskan respons strategis untuk beradaptasi.
- Mempercepat “Otonomi Strategis”: Prancis memelopori gagasan kemandirian pertahanan Eropa. Kini, gagasan itu mendapatkan momentum baru. Tujuannya bukan untuk menggantikan NATO, melainkan membangun pilar Eropa yang lebih kuat di dalam aliansi. Ini berarti Eropa harus mampu melancarkan operasi militer secara mandiri jika perlu.
- Peningkatan Anggaran Pertahanan: Invasi Rusia ke Ukraina pada 2022 menjadi katalisator. Jerman mengumumkan kebijakan Zeitenwende (“titik balik”), dan menyuntikkan dana €100 miliar untuk modernisasi militernya. Banyak negara Eropa lain mengikuti, dan secara signifikan meningkatkan anggaran pertahanan mereka.
- Ikut Bermain di Indo-Pasifik: Eropa sadar tidak bisa mengabaikan pergeseran global. Karena itu, negara-negara seperti Prancis, Jerman, dan bahkan Uni Eropa merilis strategi Indo-Pasifik mereka sendiri. Dengan mengirimkan kapal perang dan meningkatkan diplomasi di Asia, Eropa berusaha menunjukkan bahwa mereka tetap pemain global yang relevan.
Masa Depan Aliansi Transatlantik
Pergeseran poros Amerika ke Asia secara fundamental mengubah dinamika hubungan transatlantik. Eropa tidak bisa lagi hanya menjadi konsumen keamanan yang AS sediakan. Benua Biru harus bertransformasi menjadi mitra yang lebih setara dan mampu.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Tantangan terbesarnya adalah apakah Eropa dapat mengatasi perpecahan internalnya. Mereka harus benar-benar membangun kapasitas pertahanan yang kredibel. Jika berhasil, aliansi transatlantik dapat menjadi lebih seimbang dan kuat. Namun jika gagal, Eropa berisiko kehilangan relevansinya, sementara AS semakin sibuk dengan rivalitasnya di seberang Pasifik.
Penulis : Ahmad Haris Kurnia
Editor : Ahmad Haris Kurnia