JAKARTA, POSNEWS.CO.ID — Bank Sentral—baik itu Bank Indonesia, The Fed di AS, atau Bank Sentral Eropa—seringkali publik anggap sebagai lembaga teknokratik yang steril. Para gubernurnya adalah ekonom-ekonom ahli yang tugasnya hanya satu: menjaga stabilitas mata uang dan mengendalikan inflasi.
Ketika mereka memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan, dampaknya langsung terasa ke dompet kita: cicilan KPR dan kredit kendaraan melonjak. Tentu saja, ini adalah keputusan yang sangat tidak populer secara politik. Namun, mereka melakukannya atas nama “independensi”.
Tapi, seberapa independen-kah bank sentral itu? Dan apakah keputusan mereka benar-benar “teknis murni”?
Menjauh dari Politisi
Konsep Bank Sentral independen adalah gagasan yang relatif baru, yang kemudian menjadi populer dalam 40 tahun terakhir. Teorinya sederhana: kebijakan moneter (mengatur uang) harus kita pisahkan dari kebijakan fiskal (mengatur anggaran/pajak) yang pemerintah/politisi pegang.
Mengapa? Karena politisi memiliki siklus elektoral jangka pendek. Menjelang pemilu, politisi cenderung populis. Misalnya, mereka ingin membagi-bagi bansos, membangun proyek mercusuar, atau menurunkan pajak untuk menyenangkan pemilih. Cara termudah mendanai ini? “Mencetak uang”.
Akibatnya, jika bank sentral berada di bawah kendali politisi, politisi akan memaksa mereka mencetak uang untuk membiayai defisit anggaran. Hasilnya bisa kita tebak: hiperinflasi, di mana nilai mata uang hancur lebur. Oleh karena itu, bank sentral harus independen—seperti hakim—agar bisa fokus pada mandat jangka panjangnya (melawan inflasi) tanpa tekanan politik harian.
Keputusan yang Memihak
Di sinilah letak masalahnya. Keputusan bank sentral untuk menaikkan atau menurunkan suku bunga bukanlah keputusan teknis murni seperti yang sering kita kira. Sebaliknya, itu adalah keputusan politik yang sangat berdampak, yang secara inheren memilih pemenang dan pecundang dalam ekonomi.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
- Saat Suku Bunga Dinaikkan:
- Siapa yang Diuntungkan? Para penabung dan pemilik aset keuangan. Sebab, bunga deposito mereka naik dan nilai mata uang menguat.
- Siapa yang Dirugikan? Rakyat kecil dan pebisnis. Pasalnya, cicilan KPR/kredit (peminjam) menjadi lebih mahal. Perusahaan enggan berekspansi (karena pinjaman mahal), sehingga lapangan kerja baru berkurang.
- Saat Suku Bunga Diturunkan:
- Siapa yang Diuntungkan? Peminjam dan pebisnis. Cicilan lebih murah, ekonomi bergairah.
- Siapa yang Dirugikan? Penabung (bunga deposito kecil) dan berisiko memicu inflasi, yang paling merugikan masyarakat berpenghasilan tetap.
Sebagai contoh, ketika The Fed AS menaikkan suku bunga, mereka secara sadar “mendinginkan” pasar tenaga kerja—yang dalam bahasa awam berarti “menerima” akan ada lebih banyak pengangguran—demi menjinakkan inflasi. Jelas, itu adalah pilihan politik, bukan sekadar hitungan rumus.
Ilusi Ruang Steril
“Independensi” Bank Sentral seringkali hanya berarti independen dari politisi partai, tapi bukan berarti independen dari ideologi politik atau tekanan pasar keuangan.
Bankir sentral bukanlah dokter bedah di ruang operasi yang steril. Sebaliknya, mereka adalah arsitek yang membuat keputusan fundamental tentang siapa yang akan mendapat keuntungan dan siapa yang akan merugi akibat kebijakan moneter. Pada akhirnya, independensi mereka adalah ilusi yang nyaman, karena pada kenyataannya, mereka selalu berada di persimpangan antara tuntutan teknokratik yang dingin dan realitas politik yang panas.
Penulis : Ahmad Haris Kurnia
Editor : Ahmad Haris Kurnia





















