JAKARTA, POSNEWS.CO.ID —Setiap kali negara membutuhkan tambahan pendapatan, sebuah pola yang sama hampir selalu terulang. Opsi yang paling mudah publik bahas adalah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau cukai hasil tembakau (rokok). Entah itu untuk menutup defisit anggaran atau membiayai proyek besar.
Pajak-pajak ini adalah pajak konsumsi. Sifatnya regresif. PPN 11% untuk membeli beras memiliki dampak yang jauh lebih besar bagi dompet orang miskin daripada bagi dompet seorang miliarder.
Pertanyaannya menjadi jelas. Mengapa pemerintah di banyak negara, termasuk Indonesia, tampak lebih mudah menaikkan pajak yang memukul semua orang? Mengapa lebih sulit menaikkan pajak progresif yang secara spesifik menargetkan orang-orang super-kaya atau korporasi raksasa? Jawabannya bukanlah teknis, melainkan politis.
Kekuatan Lobi Melumpuhkan Pajak Progresif
Secara teori, mengenakan pajak lebih tinggi pada mereka yang memiliki lebih banyak adalah cara paling adil untuk mendanai negara. Misalnya, melalui pajak progresif, pajak kekayaan, atau pajak warisan. Namun dalam praktiknya, ini adalah pertarungan politik yang tidak seimbang.
Kelompok super-kaya dan korporasi multinasional memiliki sumber daya yang nyaris tak terbatas untuk melindungi kepentingan mereka. Mereka memiliki tim pelobi profesional, firma hukum papan atas, dan kemampuan untuk mendanai kampanye politik.
Tugas mereka sederhana: memastikan setiap rancangan undang-undang yang merugikan kepentingan finansial mereka (seperti kenaikan pajak korporasi) berhasil parlemen blokir, tunda, atau setidaknya isi dengan lusinan celah hukum (loopholes). Dengan begitu, mereka tetap bisa menghindar.
Bandingkan dengan masyarakat miskin atau kelas menengah. Mereka tidak memiliki lobi terorganisir di Senayan untuk memblokir kenaikan PPN.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Capital Flight
Jika lobi gagal, selalu ada argumen pamungkas. Argumen ini biasa kelompok pemodal gunakan untuk menekan pemerintah: ancaman “Capital Flight” atau “kaburnya modal”.
Politisi sering menggunakan argumen ini untuk menjustifikasi pajak yang rendah bagi investor. “Jika pajak korporasi kita terlalu tinggi, mereka akan ‘kabur’. Mereka akan memindahkan pabrik dan investasi mereka ke Vietnam, Singapura, atau negara tax havens (surga pajak) lainnya.”
Ancaman ini sangat efektif, terutama bagi negara berkembang yang haus investasi asing. Ketakutan akan kehilangan investasi ini seringkali memaksa pemerintah untuk “berlomba-lomba ke bawah” (race to the bottom). Mereka menawarkan insentif pajak dan tax holiday besar-besaran, yang pada akhirnya menggerus potensi pendapatan negara itu sendiri.
Pajak Adalah Cermin Kekuatan Politik
Pada akhirnya, sistem perpajakan kita bukanlah hasil murni dari perhitungan teknokratis para ekonom. Sistem perpajakan adalah cerminan dari keseimbangan kekuatan politik kelas di suatu negara.
Fakta bahwa menaikkan PPN (beban bagi si miskin) seringkali lebih mudah secara politik daripada menutup celah hukum pajak korporasi (beban bagi si kaya) menunjukkan siapa yang sebenarnya memiliki suara paling keras. Ini menunjukkan siapa yang paling penguasa dengar di ruang-ruang kekuasaan.
Penulis : Ahmad Haris Kurnia
Editor : Ahmad Haris Kurnia





















