Pajak untuk Si Miskin? Politik di Balik Siapa yang Menanggung Beban Negara

Sabtu, 8 November 2025 - 08:55 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ilustrasi, Pemerintah butuh uang. Mengapa menaikkan PPN (yang memukul semua orang) sering lebih mudah daripada mengejar pajak korporasi besar dan orang super-kaya? Dok: Istimewa.

Ilustrasi, Pemerintah butuh uang. Mengapa menaikkan PPN (yang memukul semua orang) sering lebih mudah daripada mengejar pajak korporasi besar dan orang super-kaya? Dok: Istimewa.

JAKARTA, POSNEWS.CO.ID —Setiap kali negara membutuhkan tambahan pendapatan, sebuah pola yang sama hampir selalu terulang. Opsi yang paling mudah publik bahas adalah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau cukai hasil tembakau (rokok). Entah itu untuk menutup defisit anggaran atau membiayai proyek besar.

Pajak-pajak ini adalah pajak konsumsi. Sifatnya regresif. PPN 11% untuk membeli beras memiliki dampak yang jauh lebih besar bagi dompet orang miskin daripada bagi dompet seorang miliarder.

Pertanyaannya menjadi jelas. Mengapa pemerintah di banyak negara, termasuk Indonesia, tampak lebih mudah menaikkan pajak yang memukul semua orang? Mengapa lebih sulit menaikkan pajak progresif yang secara spesifik menargetkan orang-orang super-kaya atau korporasi raksasa? Jawabannya bukanlah teknis, melainkan politis.

Kekuatan Lobi Melumpuhkan Pajak Progresif

Secara teori, mengenakan pajak lebih tinggi pada mereka yang memiliki lebih banyak adalah cara paling adil untuk mendanai negara. Misalnya, melalui pajak progresif, pajak kekayaan, atau pajak warisan. Namun dalam praktiknya, ini adalah pertarungan politik yang tidak seimbang.

Baca Juga :  Dunia Anarki: Mengapa Perang Tak Terhindarkan

Kelompok super-kaya dan korporasi multinasional memiliki sumber daya yang nyaris tak terbatas untuk melindungi kepentingan mereka. Mereka memiliki tim pelobi profesional, firma hukum papan atas, dan kemampuan untuk mendanai kampanye politik.

Tugas mereka sederhana: memastikan setiap rancangan undang-undang yang merugikan kepentingan finansial mereka (seperti kenaikan pajak korporasi) berhasil parlemen blokir, tunda, atau setidaknya isi dengan lusinan celah hukum (loopholes). Dengan begitu, mereka tetap bisa menghindar.

Bandingkan dengan masyarakat miskin atau kelas menengah. Mereka tidak memiliki lobi terorganisir di Senayan untuk memblokir kenaikan PPN.

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Capital Flight

Jika lobi gagal, selalu ada argumen pamungkas. Argumen ini biasa kelompok pemodal gunakan untuk menekan pemerintah: ancaman “Capital Flight” atau “kaburnya modal”.

Politisi sering menggunakan argumen ini untuk menjustifikasi pajak yang rendah bagi investor. “Jika pajak korporasi kita terlalu tinggi, mereka akan ‘kabur’. Mereka akan memindahkan pabrik dan investasi mereka ke Vietnam, Singapura, atau negara tax havens (surga pajak) lainnya.”

Baca Juga :  Mayat Driver Taksi Online Terikat di Tol Jagorawi , Polisi Ungkap Dugaan Pembunuhan Sadis

Ancaman ini sangat efektif, terutama bagi negara berkembang yang haus investasi asing. Ketakutan akan kehilangan investasi ini seringkali memaksa pemerintah untuk “berlomba-lomba ke bawah” (race to the bottom). Mereka menawarkan insentif pajak dan tax holiday besar-besaran, yang pada akhirnya menggerus potensi pendapatan negara itu sendiri.

Pajak Adalah Cermin Kekuatan Politik

Pada akhirnya, sistem perpajakan kita bukanlah hasil murni dari perhitungan teknokratis para ekonom. Sistem perpajakan adalah cerminan dari keseimbangan kekuatan politik kelas di suatu negara.

Fakta bahwa menaikkan PPN (beban bagi si miskin) seringkali lebih mudah secara politik daripada menutup celah hukum pajak korporasi (beban bagi si kaya) menunjukkan siapa yang sebenarnya memiliki suara paling keras. Ini menunjukkan siapa yang paling penguasa dengar di ruang-ruang kekuasaan.

Penulis : Ahmad Haris Kurnia

Editor : Ahmad Haris Kurnia

Follow WhatsApp Channel www.posnews.co.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Rahasia Panjang Umur Karier LeBron James dan CR7
Doping Genetik: Batas Baru Kecurangan yang Tak Terdeteksi
Banjir Jakarta Makin Meluas: 30 RT Terendam, Air Tembus 90 Cm Usai Hujan Deras
Menteri Supratman, Aturan Penyadapan Bakal Disatukan dalam Satu UU Khusus
Imigrasi Amankan WZ, Buronan Penipuan Rp 2,2 Triliunan Asal China di Batam
Suporter atau Perusuh? Membedah Psikologi Massa di Stadion
Kasus Video Porno Lisa Mariana, Model Cantik Ini Kembali Diperiksa Polisi
Banjir 50 Cm Rendam Tiga Ruas Jalan Jakarta, Lalu Lintas Lumpuh

Berita Terkait

Selasa, 18 November 2025 - 19:26 WIB

Rahasia Panjang Umur Karier LeBron James dan CR7

Selasa, 18 November 2025 - 19:15 WIB

Doping Genetik: Batas Baru Kecurangan yang Tak Terdeteksi

Selasa, 18 November 2025 - 17:23 WIB

Banjir Jakarta Makin Meluas: 30 RT Terendam, Air Tembus 90 Cm Usai Hujan Deras

Selasa, 18 November 2025 - 16:31 WIB

Menteri Supratman, Aturan Penyadapan Bakal Disatukan dalam Satu UU Khusus

Selasa, 18 November 2025 - 15:59 WIB

Imigrasi Amankan WZ, Buronan Penipuan Rp 2,2 Triliunan Asal China di Batam

Berita Terbaru

Ilustrasi, LeBron James dan CR7 masih mendominasi di usia 40-an. Rahasianya bukan hanya latihan keras, tapi sains pemulihan (recovery) yang ekstrem. Dok: Istimewa.

SPORT

Rahasia Panjang Umur Karier LeBron James dan CR7

Selasa, 18 Nov 2025 - 19:26 WIB