JAKARTA, POSNEWS.CO.ID — Saat sebuah krisis besar melanda—entah itu pandemi global, bencana alam dahsyat, atau perang—fokus utama publik adalah bertahan hidup dan solidaritas. Namun, di balik layar kepanikan kolektif itu, ada agenda lain yang seringkali berjalan senyap.
Bagi sebagian pihak, krisis bukanlah tragedi, melainkan peluang bisnis. Inilah inti dari teori “Kapitalisme Bencana” (Disaster Capitalism). Jurnalis Naomi Klein mempopulerkan konsep ini dalam bukunya, “The Shock Doctrine” (Doktrin Kejut).
Shock Doctrine
Menurut Klein, “Shock Doctrine” adalah sebuah strategi politik. Strategi ini memanfaatkan disorientasi publik setelah terjadinya “kejutan” (bencana, perang, krisis ekonomi). Tujuannya adalah untuk meloloskan kebijakan ekonomi radikal. Dalam kondisi normal, publik pasti akan menolak mentah-mentah kebijakan tersebut.
Selain itu, kebijakan ini hampir selalu sama: privatisasi aset negara (menjual BUMN), deregulasi besar-besaran (menghapus aturan perlindungan buruh), dan pemotongan belanja publik (memangkas anggaran kesehatan).
Memanfaatkan Keterkejutan Publik
Bagaimana strategi ini bekerja? Ternyata, mekanismenya mengandalkan kelelahan dan ketakutan publik. Saat masyarakat sedang panik memikirkan kesehatan (saat pandemi), pengawasan mereka terhadap kebijakan pemerintah melemah drastis.
Keterkejutan kolektif ini adalah “jendela peluang” emas bagi kepentingan khusus. Saat inilah waktu untuk mengesahkan undang-undang yang sulit. Saat inilah waktu untuk memberikan kontrak darurat bernilai triliunan rupiah tanpa tender, dengan dalih “kecepatan penanganan krisis”.
Siapa Untung dari Pandemi?
Kita tidak perlu melihat jauh. Respon ekonomi global terhadap pandemi COVID-19 adalah studi kasus “Shock Doctrine” terbesar dalam sejarah modern.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Di banyak negara, pemerintah menggelontorkan dana stimulus raksasa untuk “menyelamatkan ekonomi”. Akan tetapi, siapa yang paling diuntungkan? Seringkali, dana talangan terbesar mengalir lebih dulu ke korporasi-korporasi raksasa, seperti maskapai penerbangan atau bank. Sementara itu, UMKM harus berjuang mengisi birokrasi rumit untuk bantuan yang jauh lebih kecil.
Saat semua orang teralihkan oleh berita jumlah kasus harian, para pembuat kebijakan mengesahkan regulasi yang menguntungkan industri farmasi besar atau perusahaan teknologi pengawasan dengan cepat.
Krisis sebagai Peluang Bisnis
“Kapitalisme Bencana” mengajarkan kita untuk waspada. Sebuah krisis bukan hanya tragedi kemanusiaan yang harus kita atasi dengan solidaritas. Faktanya, bagi sebagian elit politik dan korporasi, krisis juga merupakan peluang bisnis dan politik yang paling menguntungkan.
Mereka tahu bahwa saat publik terguncang, itulah waktu terbaik untuk memaksakan agenda yang telah mereka siapkan jauh-jauh hari.
Penulis : Ahmad Haris Kurnia
Editor : Ahmad Haris Kurnia





















