JAKARTA, POSNEWS.CO.ID – Analisis perang nilai antara Hustle Culture (gila kerja, side hustle) dan Slow Living (anti-burnout, mindfulness). Bagaimana generasi muda menavigasi tuntutan ekonomi dan pencarian kesejahteraan mental untuk mendefinisikan ulang “sukses”.
Dua Tarikan Ekstrem Profesional Muda
Para profesional muda saat ini hidup dalam medan perang filosofis. Di satu sisi, media sosial membombardir mereka dengan “Hustle Culture” (Budaya Gila Kerja)—sebuah glorifikasi kerja keras tanpa henti sebagai jalan satu-satunya menuju kesuksesan.
Di sisi lain, sebagai respons terhadap burnout massal, sebuah gerakan tandingan telah menguat: “Slow Living” (Gaya Hidup Pelan). Gerakan ini justru mengajarkan untuk mundur dari perlombaan, memprioritaskan kesehatan mental, dan menemukan makna di luar slip gaji. Akibatnya, ini bukan lagi sekadar perdebatan manajemen waktu; ini adalah perang nilai tentang definisi “hidup yang baik”.
Glorifikasi Produktivitas
Bagi para penganutnya, hustle culture adalah agama. Ideologi ini mengagungkan produktivitas ekstrem. Ia menjadikan kerja keras sebagai tolok ukur nilai moral seseorang.
Penganut filosofi ini sering memamerkan jam kerja 16 jam sehari, bangun jam 4 pagi, dan mengerjakan berbagai side hustle (pekerjaan sampingan) di akhir pekan. Bagi mereka, tidur adalah untuk orang malas, dan istirahat adalah pemborosan waktu.
Media sosial memperparah fenomena ini. Platform seperti LinkedIn dan TikTok penuh dengan “motivator” yang menjual narasi bahwa jika Anda tidak menjadi kaya di usia 30, Anda telah gagal—dan itu karena Anda kurang “berusaha”.
Pemberontakan Melawan ‘Burnout’
Sebaliknya, slow living muncul sebagai antitesis langsung. Gerakan ini merupakan pemberontakan melawan burnout dan konsekuensi kesehatan mental dari hustle culture. Ia berakar dari fenomena Quiet Quitting yang telah kita bahas sebelumnya.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Filosofi ini menolak gagasan bahwa identitas dan nilai diri Anda terikat pada pekerjaan atau produktivitas Anda. Bukan berarti penganutnya malas. Akan tetapi, mereka secara sadar memilih bekerja secukupnya (work-life balance).
Mereka memprioritaskan mindfulness, menghabiskan waktu di alam, memasak makanan dari awal, membaca buku, dan membangun komunitas. Bagi mereka, definisi sukses adalah kedamaian batin dan kualitas hidup, bukan sekadar jabatan atau saldo rekening bank.
Kapitalisme vs. Kesejahteraan Mental
Pada dasarnya, perang nilai ini mencerminkan tarikan fundamental dalam masyarakat modern.
Di satu sisi, tuntutan ekonomi kapitalisme modern sangat nyata. Biaya hidup yang terus meroket, harga rumah yang mustahil terjangkau, dan utang pendidikan memaksa banyak anak muda untuk menerima hustle culture sebagai satu-satunya cara bertahan hidup.
Namun, di sisi lain, manusia memiliki kebutuhan psikologis dasar akan istirahat, koneksi, dan makna. Epidemi kesepian dan burnout menunjukkan bahwa ada harga mahal yang harus kita bayar atas pengejaran produktivitas tanpa henti.
Mendefinisikan Ulang “Sukses”
Lalu, bagaimana individu, terutama Gen Z, menavigasi kedua tarikan ekstrem ini?
Pada akhirnya, jawaban tampaknya tidak terletak pada pemilihan satu filosofi dan membuang yang lain. Sebaliknya, kita menyaksikan generasi baru yang mencoba meracik definisi “sukses” mereka sendiri.
Mungkin bagi sebagian orang, “sukses” adalah menerapkan hustle culture secara intensif selama 10 tahun agar bisa pensiun dini di usia 40 dan menjalani slow living. Bagi yang lain, sukses adalah menemukan pekerjaan yang “cukup baik” (quiet quitting) yang membayar tagihan, sehingga mereka bisa mencurahkan energi sebenarnya pada hobi atau keluarga.
Oleh karena itu, perang nilai ini mungkin akan melahirkan angkatan kerja masa depan yang lebih fleksibel, lebih jujur tentang batas-batas (boundaries), dan lebih beragam dalam mendefinisikan apa arti dari “hidup yang sukses”.
Penulis : Ahmad Haris Kurnia
Editor : Ahmad Haris Kurnia





















