Suporter atau Perusuh? Membedah Psikologi Massa di Stadion

Selasa, 18 November 2025 - 15:53 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ilustrasi, Bagaimana ribuan individu baik-baik bisa berubah menjadi perusuh anonim di stadion? Jawabannya adalah 'deindividuasi' dan psikologi 'us vs them'. Dok: Istimewa.

Ilustrasi, Bagaimana ribuan individu baik-baik bisa berubah menjadi perusuh anonim di stadion? Jawabannya adalah 'deindividuasi' dan psikologi 'us vs them'. Dok: Istimewa.

JAKARTA, POSNEWS.CO.ID – Sepak bola adalah gairah. Jutaan orang mencurahkan cinta, waktu, dan emosi untuk klub kesayangan mereka. Namun, gairah itu seringkali melintasi batas tipis menjadi kekerasan mentah. Kita menyebutnya hooliganisme atau fanatisme ekstrem.

Fenomena ini menyajikan paradoks yang meresahkan. Bagaimana ribuan individu, yang mungkin adalah warga negara baik dalam kehidupan sehari-hari, bisa bertransformasi menjadi massa perusuh yang anonim saat berada di stadion? Jawabannya terletak pada psikologi kerumunan (crowd psychology).

Deindividuasi dan “Us vs Them”

Para psikolog sosial menunjuk pada dua konsep kunci untuk menjelaskan fenomena “perubahan” karakter ini:

  1. Deindividuasi (Hilangnya Identitas Diri): Pertama, ketika seseorang melebur dalam kerumunan (misalnya, mengenakan atribut yang sama dengan ribuan orang lain), ia cenderung kehilangan identitas personalnya. Ia tidak lagi merasa sebagai “Budi” atau “Ani”. Akibatnya, ia merasa anonim. Kontrol diri dan rasa tanggung jawab individu, yang biasanya menahan perilaku agresif, menjadi lemah. Ia merasa “kerumunan” yang akan bertanggung jawab, bukan dirinya sendiri.
  2. Identitas Kelompok (Us vs Them): Kedua, stadion adalah arena yang secara alami memperkuat identitas kelompok. Secara instan, dunia terbagi menjadi “Kita” (tim saya, tribun saya) dan “Mereka” (tim lawan, suporter lawan). Persepsi “Kita vs Mereka” ini sangat primitif dan kuat. Hal ini mempermudah proses dehumanisasi kelompok lawan, mengubah mereka dari “sesama pencinta bola” menjadi “musuh” yang harus dikalahkan.
Baca Juga :  Sampah Longsor di Bantargebang Dorong Mobil Kompaktor ke Parit - Sopir Tergencet

Rivalitas, Aparat, dan Alkohol

Tentu saja, kondisi psikologis itu membutuhkan pemicu untuk meledak. Kekerasan jarang terjadi secara spontan. Biasanya, ada pemicu spesifik:

  1. Rivalitas Sejarah: Faktor paling umum adalah dendam atau narasi permusuhan yang telah terbangun bertahun-tahun antara dua basis suporter.
  2. Provokasi Aparat atau Lawan: Seringkali, tindakan provokatif (baik dari suporter lawan maupun dari aparat keamanan) dapat menyulut api. Jika penanganan keamanan terlalu represif atau dianggap tidak adil, kerumunan akan merasa diserang sebagai satu unit. Akibatnya, mereka memberikan respons defensif yang kolektif dan agresif.
  3. Alkohol dan Zat Lain: Terakhir, faktor eksternal seperti konsumsi alkohol atau obat-obatan semakin menurunkan kontrol diri individu. Hal ini membuat mereka lebih mudah tersulut emosi dan terbawa arus kerumunan.

Tragedi, Sanksi, dan Stigma

Dampak dari kegagalan mengelola psikologi massa ini sangat tragis dan merugikan banyak pihak:

  • Kerugian Nyawa (Tragedi Stadion): Dampak paling fatal adalah kerugian nyawa. Sejarah penuh dengan tragedi stadion (seperti Kanjuruhan, Heysel, atau Hillsborough) di mana kepanikan massa, kekerasan, atau penanganan kerumunan yang salah berakhir dengan kematian massal.
  • Sanksi Klub: Ironisnya, klub yang mereka cintai justru harus menanggung hukuman berat. Hukuman ini berkisar dari denda besar hingga larangan bermain tanpa penonton, yang tentu saja merugikan klub secara finansial dan kompetitif.
  • Stigma Sosial: Selain itu, tindakan segelintir perusuh menciptakan stigma negatif yang merugikan seluruh komunitas suporter, termasuk jutaan orang yang selalu datang dengan damai.
Baca Juga :  Polda Metro Jaya Kejar Buronan EG Kasus Pembunuhan Kepala BRI Cempaka Putih

Mengubah Energi Fanatisme

Pada akhirnya, fanatisme itu sendiri adalah bentuk energi kolektif yang luar biasa kuat. Energi ini pada dasarnya netral; ia bisa menjadi destruktif (perusuh) atau menjadi konstruktif (suporter).

Tantangan bagi klub, asosiasi, dan aparat keamanan bukanlah bagaimana memberantas fanatisme. Hal itu mustahil. Sebaliknya, tantangannya adalah bagaimana menciptakan lingkungan stadion yang aman, terstruktur, dan manusiawi.

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Kita harus mengarahkan energi kolektif yang luar biasa itu menjadi dukungan positif yang kreatif (seperti koreografi, chants megah, atau kegiatan sosial atas nama klub). Kita tidak boleh membiarkannya liar hingga menjadi kekerasan anonim yang menghancurkan.

Penulis : Ahmad Haris Kurnia

Editor : Ahmad Haris Kurnia

Follow WhatsApp Channel www.posnews.co.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Rahasia Panjang Umur Karier LeBron James dan CR7
Doping Genetik: Batas Baru Kecurangan yang Tak Terdeteksi
Banjir Jakarta Makin Meluas: 30 RT Terendam, Air Tembus 90 Cm Usai Hujan Deras
Menteri Supratman, Aturan Penyadapan Bakal Disatukan dalam Satu UU Khusus
Imigrasi Amankan WZ, Buronan Penipuan Rp 2,2 Triliunan Asal China di Batam
Kasus Video Porno Lisa Mariana, Model Cantik Ini Kembali Diperiksa Polisi
Banjir 50 Cm Rendam Tiga Ruas Jalan Jakarta, Lalu Lintas Lumpuh
Kampung Tanah Harapan Diresmikan di Jakut, Pemprov DKI Janji Perbaiki Fasilitas Warga

Berita Terkait

Selasa, 18 November 2025 - 19:26 WIB

Rahasia Panjang Umur Karier LeBron James dan CR7

Selasa, 18 November 2025 - 19:15 WIB

Doping Genetik: Batas Baru Kecurangan yang Tak Terdeteksi

Selasa, 18 November 2025 - 17:23 WIB

Banjir Jakarta Makin Meluas: 30 RT Terendam, Air Tembus 90 Cm Usai Hujan Deras

Selasa, 18 November 2025 - 16:31 WIB

Menteri Supratman, Aturan Penyadapan Bakal Disatukan dalam Satu UU Khusus

Selasa, 18 November 2025 - 15:59 WIB

Imigrasi Amankan WZ, Buronan Penipuan Rp 2,2 Triliunan Asal China di Batam

Berita Terbaru

Ilustrasi, LeBron James dan CR7 masih mendominasi di usia 40-an. Rahasianya bukan hanya latihan keras, tapi sains pemulihan (recovery) yang ekstrem. Dok: Istimewa.

SPORT

Rahasia Panjang Umur Karier LeBron James dan CR7

Selasa, 18 Nov 2025 - 19:26 WIB