JAKARTA, POSNEWS.CO.ID — Seorang figur publik membuat kesalahan kecil, dan dalam hitungan jam, kolom komentarnya berubah menjadi medan perang digital. Ribuan akun tanpa nama, yang dioperasikan oleh pelajar, karyawan, bahkan orang tua, serentak melontarkan caci maki. Di platform lain, sebuah berita bohong atau hoaks menyebar secepat kilat, dibagikan oleh ribuan orang yang bahkan tidak membaca isinya secara lengkap. Para pelakunya bukanlah monster atau penjahat terorganisir. Mereka adalah orang-orang biasa seperti kita.
Fenomena ini memunculkan pertanyaan yang menggelisahkan: bagaimana orang-orang biasa dapat berpartisipasi dalam tindakan kejam secara kolektif, seperti perundungan siber massal atau penyebaran disinformasi, tanpa merasa sedang melakukan sesuatu yang benar-benar “jahat”? Jawabannya mungkin terletak pada sebuah konsep yang lahir dari salah satu periode terkelam dalam sejarah manusia.
Saat Orang Biasa Menjadi Pelaku
Filsuf politik, Hannah Arendt, memperkenalkan konsep Banalitas Kejahatan (Banality of Evil) saat ia meliput persidangan Adolf Eichmann, seorang perwira Nazi yang bertanggung jawab atas logistik Holocaust. Arendt mengharapkan sosok monster, tetapi yang ia temukan adalah seorang birokrat yang membosankan. Eichmann bukanlah seorang ideolog yang fanatik atau pembenci yang sadis. Ia hanya seorang pria yang ingin melakukan pekerjaannya dengan baik dan menaiki tangga karier.
Dari pengamatan inilah Arendt menyimpulkan bahwa kejahatan terbesar dalam sejarah tidak selalu membutuhkan niat jahat yang luar biasa. Sebaliknya, kejahatan bisa lahir dari sesuatu yang jauh lebih “normal” atau banal: ketidakmampuan untuk berpikir kritis. Pelaku kejahatan sering kali adalah orang biasa yang hanya mengikuti arus, mematuhi perintah, atau menyesuaikan diri dengan norma kelompok tanpa pernah berhenti sejenak untuk merefleksikan konsekuensi moral dari tindakan mereka.
Serangan Netizen sebagai Kejahatan Banal
Teori Arendt memberikan lensa yang sangat kuat untuk memahami perilaku massa di media sosial. Ketika “netizen” beramai-ramai menyerang seseorang, banyak dari mereka tidak bertindak atas dasar kebencian personal yang mendalam. Sebaliknya, partisipasi mereka sering kali didorong oleh motif yang lebih dangkal.
Pertama, ada keinginan untuk mengikuti tren. Ketika sebuah isu menjadi viral, ikut berkomentar atau menyerang target yang sama memberikan perasaan menjadi bagian dari sesuatu yang besar. Kedua, ada dorongan solidaritas kelompok. Para netizen sering kali merasa sedang membela sebuah nilai atau kelompok tertentu, sehingga tindakan mereka terasa seperti aktivisme, bukan perundungan. Jarak yang diciptakan oleh layar gawai juga membuat mereka terlepas dari dampak nyata perbuatan mereka. Target serangan tidak terlihat sebagai manusia utuh, melainkan hanya sebagai avatar atau objek kemarahan. Inilah inti dari banalitas kejahatan: tindakan merusak yang lahir dari kedangkalan berpikir.
Potensi Jahat dalam Diri Kita Semua
Pelajaran terpenting dari teori Arendt adalah sebuah peringatan yang keras. Potensi untuk melakukan kejahatan atau berkontribusi pada kerusakan besar tidak hanya ada pada segelintir orang “jahat”. Potensi itu ada dalam diri kita semua, yang bisa muncul kapan saja saat kita berhenti berpikir kritis.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Di era digital, di mana sebuah klik atau satu kali “bagikan” dapat diamplifikasi ribuan kali, tanggung jawab kita untuk berpikir menjadi semakin besar. Sebelum ikut dalam gerombolan digital, kita perlu bertanya pada diri sendiri: Mengapa saya melakukan ini? Apakah saya benar-benar memahami konteksnya? Atau saya hanya ikut-ikutan? Tanpa refleksi semacam ini, kita semua berisiko menjadi Eichmann-Eichmann kecil di dunia maya, para pelaku kejahatan yang bahkan tidak menyadari bahwa mereka sedang berbuat jahat.
Penulis : Ahmad Haris Kurnia
Editor : Ahmad Haris Kurnia