JAKARTA, POSNEWS.CO.ID — Coba perhatikan pemandangan di sekitar kita. Di kafe, di pusat perbelanjaan, atau bahkan di ruang publik, kita mudah menemukan anak muda yang mendengarkan musik K-Pop melalui earphone sambil memegang cangkir kopi dari merek terkenal. Sebuah gaya busana tertentu tiba-tiba menjadi tren global, lalu semua orang seakan wajib mengikutinya. Bagaimana fenomena ini bisa terjadi? Mengapa tren-tren ini menjadi begitu dominan dan universal, seolah-olah semua orang sepakat bahwa itulah yang “keren”?
Ini bukanlah sekadar kebetulan atau penyebaran organik dari mulut ke mulut. Sebaliknya, fenomena ini menunjukkan cara kerja sebuah kekuatan yang lebih halus dan mendalam. Seorang pemikir Italia, Antonio Gramsci, memberikan penjelasan kuat tentang bagaimana sebuah kelompok dapat mempertahankan kekuasaan bukan dengan senjata, melainkan dengan ide dan persetujuan.
Hegemoni Kultural: Kekuasaan Melalui “Akal Sehat”
Jauh sebelum era digital, Antonio Gramsci, seorang filsuf dan politisi, mengembangkan konsep Hegemoni Kultural. Gramsci berpendapat bahwa kelompok dominan dalam masyarakat (misalnya, kelas penguasa atau elite budaya) mempertahankan kekuasaan mereka tidak hanya melalui paksaan seperti hukum atau aparat. Cara yang lebih efektif adalah dengan membuat nilai, norma, dan pandangan dunia mereka diterima secara luas sebagai sesuatu yang wajar, alami, dan menjadi “akal sehat” (common sense) bagi seluruh masyarakat.
Akibatnya, masyarakat luas secara sukarela mengadopsi dan menyebarkan ideologi kelompok dominan tersebut. Mereka melakukannya bukan karena merasa terpaksa, tetapi karena menganggapnya sebagai cara yang benar atau terbaik dalam melakukan sesuatu. Dengan demikian, persetujuan ini mengukuhkan kekuasaan kelompok dominan tanpa perlu adanya kekerasan.
Analisis: Industri Budaya sebagai Arsitek Selera
Teori Gramsci menjadi sangat relevan ketika kita melihat cara kerja industri budaya modern. Media, industri hiburan, dan periklanan bertindak sebagai arsitek yang secara aktif membangun hegemoni ini.
- Paket Lengkap Industri Hiburan: K-Pop adalah contoh hegemoni kultural yang luar biasa. Industri ini tidak hanya menjual musik. Sebaliknya, mereka menawarkan sebuah paket gaya hidup yang lengkap, mencakup standar kecantikan, mode, bahasa, dan bahkan etos kerja. Melalui drama, film, dan variety show, media Korea secara konsisten mempromosikan paket ini ke seluruh dunia. Oleh karena itu, para penggemar secara sukarela mengadopsi tren ini, mulai dari membeli produk perawatan kulit Korea hingga mempelajari bahasanya, karena mereka telah menerima gaya hidup ini sebagai standar global untuk modernitas dan daya tarik.
- Menciptakan Norma Melalui Iklan: Hal serupa terjadi pada budaya kopi. Merek-merek kopi raksasa tidak hanya menjual minuman. Lebih penting lagi, mereka menjual citra dan status sosial melalui iklan yang gencar. Mereka menggambarkan gerai mereka sebagai ruang untuk orang-orang sukses, kreatif, dan modern. Seiring waktu, masyarakat pun menerima narasi ini. Akibatnya, minum kopi dari merek tertentu menjadi sebuah ritual sosial yang dianggap wajar untuk menunjukkan status, bukan lagi sekadar pilihan berdasarkan rasa.
Implikasi: Pilihan Kita yang Tidak Sepenuhnya Milik Kita
Implikasi dari hegemoni kultural ini sangat mendalam. Hal ini menunjukkan bahwa selera dan aspirasi yang kita anggap sebagai pilihan pribadi sering kali merupakan produk dari kekuatan budaya yang lebih besar. Keinginan kita untuk memiliki ponsel model terbaru, mengikuti tren fesyen terkini, atau bahkan mendefinisikan kesuksesan, sering kali bukan berasal dari dalam diri kita. Sebaliknya, semua itu adalah hasil dari narasi dominan yang telah kita serap sebagai “akal sehat”.
Pada akhirnya, hegemoni ini berisiko meminggirkan budaya-budaya alternatif atau lokal yang tidak memiliki kekuatan industri untuk mempromosikan diri. Ketika seluruh dunia mendengarkan musik yang sama dan minum kopi dari merek yang sama, kita kehilangan keragaman yang membuat budaya manusia menjadi kaya. Ini mengajak kita untuk bertanya kembali setiap kali kita membuat pilihan: apakah ini benar-benar keinginan saya, atau saya hanya mengikuti “akal sehat” yang telah dirancang oleh orang lain?
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Penulis : Ahmad Haris Kurnia
Editor : Ahmad Haris Kurnia