Hegemoni K-Pop dan Secangkir Kopi

Rabu, 22 Oktober 2025 - 06:15 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ilustrasi, Dari K-Pop hingga kopi kekinian, mengapa kita serentak menyukai hal yang sama? Artikel ini mengungkap bagaimana kekuatan budaya tak terlihat membentuk selera kita. Dok: Istimewa.

Ilustrasi, Dari K-Pop hingga kopi kekinian, mengapa kita serentak menyukai hal yang sama? Artikel ini mengungkap bagaimana kekuatan budaya tak terlihat membentuk selera kita. Dok: Istimewa.

JAKARTA, POSNEWS.CO.ID — Coba perhatikan pemandangan di sekitar kita. Di kafe, di pusat perbelanjaan, atau bahkan di ruang publik, kita mudah menemukan anak muda yang mendengarkan musik K-Pop melalui earphone sambil memegang cangkir kopi dari merek terkenal. Sebuah gaya busana tertentu tiba-tiba menjadi tren global, lalu semua orang seakan wajib mengikutinya. Bagaimana fenomena ini bisa terjadi? Mengapa tren-tren ini menjadi begitu dominan dan universal, seolah-olah semua orang sepakat bahwa itulah yang “keren”?

Ini bukanlah sekadar kebetulan atau penyebaran organik dari mulut ke mulut. Sebaliknya, fenomena ini menunjukkan cara kerja sebuah kekuatan yang lebih halus dan mendalam. Seorang pemikir Italia, Antonio Gramsci, memberikan penjelasan kuat tentang bagaimana sebuah kelompok dapat mempertahankan kekuasaan bukan dengan senjata, melainkan dengan ide dan persetujuan.

Hegemoni Kultural: Kekuasaan Melalui “Akal Sehat”

Jauh sebelum era digital, Antonio Gramsci, seorang filsuf dan politisi, mengembangkan konsep Hegemoni Kultural. Gramsci berpendapat bahwa kelompok dominan dalam masyarakat (misalnya, kelas penguasa atau elite budaya) mempertahankan kekuasaan mereka tidak hanya melalui paksaan seperti hukum atau aparat. Cara yang lebih efektif adalah dengan membuat nilai, norma, dan pandangan dunia mereka diterima secara luas sebagai sesuatu yang wajar, alami, dan menjadi “akal sehat” (common sense) bagi seluruh masyarakat.

Baca Juga :  Thrifting & Upcycling: Gaya Sadar Lingkungan Generasi Baru

Akibatnya, masyarakat luas secara sukarela mengadopsi dan menyebarkan ideologi kelompok dominan tersebut. Mereka melakukannya bukan karena merasa terpaksa, tetapi karena menganggapnya sebagai cara yang benar atau terbaik dalam melakukan sesuatu. Dengan demikian, persetujuan ini mengukuhkan kekuasaan kelompok dominan tanpa perlu adanya kekerasan.

Analisis: Industri Budaya sebagai Arsitek Selera

Teori Gramsci menjadi sangat relevan ketika kita melihat cara kerja industri budaya modern. Media, industri hiburan, dan periklanan bertindak sebagai arsitek yang secara aktif membangun hegemoni ini.

  1. Paket Lengkap Industri Hiburan: K-Pop adalah contoh hegemoni kultural yang luar biasa. Industri ini tidak hanya menjual musik. Sebaliknya, mereka menawarkan sebuah paket gaya hidup yang lengkap, mencakup standar kecantikan, mode, bahasa, dan bahkan etos kerja. Melalui drama, film, dan variety show, media Korea secara konsisten mempromosikan paket ini ke seluruh dunia. Oleh karena itu, para penggemar secara sukarela mengadopsi tren ini, mulai dari membeli produk perawatan kulit Korea hingga mempelajari bahasanya, karena mereka telah menerima gaya hidup ini sebagai standar global untuk modernitas dan daya tarik.
  2. Menciptakan Norma Melalui Iklan: Hal serupa terjadi pada budaya kopi. Merek-merek kopi raksasa tidak hanya menjual minuman. Lebih penting lagi, mereka menjual citra dan status sosial melalui iklan yang gencar. Mereka menggambarkan gerai mereka sebagai ruang untuk orang-orang sukses, kreatif, dan modern. Seiring waktu, masyarakat pun menerima narasi ini. Akibatnya, minum kopi dari merek tertentu menjadi sebuah ritual sosial yang dianggap wajar untuk menunjukkan status, bukan lagi sekadar pilihan berdasarkan rasa.
Baca Juga :  Kecanduan Media Sosial: Penyebab, Dampak, dan Cara Mengatasinya

Implikasi: Pilihan Kita yang Tidak Sepenuhnya Milik Kita

Implikasi dari hegemoni kultural ini sangat mendalam. Hal ini menunjukkan bahwa selera dan aspirasi yang kita anggap sebagai pilihan pribadi sering kali merupakan produk dari kekuatan budaya yang lebih besar. Keinginan kita untuk memiliki ponsel model terbaru, mengikuti tren fesyen terkini, atau bahkan mendefinisikan kesuksesan, sering kali bukan berasal dari dalam diri kita. Sebaliknya, semua itu adalah hasil dari narasi dominan yang telah kita serap sebagai “akal sehat”.

Pada akhirnya, hegemoni ini berisiko meminggirkan budaya-budaya alternatif atau lokal yang tidak memiliki kekuatan industri untuk mempromosikan diri. Ketika seluruh dunia mendengarkan musik yang sama dan minum kopi dari merek yang sama, kita kehilangan keragaman yang membuat budaya manusia menjadi kaya. Ini mengajak kita untuk bertanya kembali setiap kali kita membuat pilihan: apakah ini benar-benar keinginan saya, atau saya hanya mengikuti “akal sehat” yang telah dirancang oleh orang lain?

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Penulis : Ahmad Haris Kurnia

Editor : Ahmad Haris Kurnia

Follow WhatsApp Channel www.posnews.co.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Tolak Makan, Bocah di Bojonggede Tewas Dipukul Ibu Tiri Sejak Awal Oktober
Membedah Banalitas Kejahatan di Era Digital
Modal Tak Kasat Mata Anak Jaksel: Ketika Selera Menjadi Penentu Status
Saat Hobi Menjadi Cuan: Jebakan Alienasi di Era Digital
Hujan Petir Diprediksi Guyur Jabodetabek 22 Oktober, Warga Diminta Siaga
Hidup di Dunia Simulasi Instagram: Ketika Citra Lebih Nyata dari Kenyataan
Bagaimana Gawai Mengawasi Setiap Gerak-Gerik Kita
Dari Mitos Yunani Kuno Hingga Navigasi Para Pelaut

Berita Terkait

Rabu, 22 Oktober 2025 - 07:33 WIB

Tolak Makan, Bocah di Bojonggede Tewas Dipukul Ibu Tiri Sejak Awal Oktober

Rabu, 22 Oktober 2025 - 06:59 WIB

Membedah Banalitas Kejahatan di Era Digital

Rabu, 22 Oktober 2025 - 06:37 WIB

Modal Tak Kasat Mata Anak Jaksel: Ketika Selera Menjadi Penentu Status

Rabu, 22 Oktober 2025 - 06:21 WIB

Saat Hobi Menjadi Cuan: Jebakan Alienasi di Era Digital

Rabu, 22 Oktober 2025 - 06:15 WIB

Hegemoni K-Pop dan Secangkir Kopi

Berita Terbaru

Ilustrasi, Bagaimana ribuan klik dari orang-orang biasa bisa menciptakan perundungan massal? Sebuah pandangan melalui kacamata teori Banalitas Kejahatan dari Hannah Arendt. Dok: Istimewa.

NETIZEN

Membedah Banalitas Kejahatan di Era Digital

Rabu, 22 Okt 2025 - 06:59 WIB

Ilustrasi, Dari kegembiraan murni menjadi tuntutan pasar, mengapa hobi yang dimonetisasi sering berakhir dengan kelelahan emosional atau burnout? Dok: Istimewa.

POLITIK

Saat Hobi Menjadi Cuan: Jebakan Alienasi di Era Digital

Rabu, 22 Okt 2025 - 06:21 WIB

Ilustrasi, Dari K-Pop hingga kopi kekinian, mengapa kita serentak menyukai hal yang sama? Artikel ini mengungkap bagaimana kekuatan budaya tak terlihat membentuk selera kita. Dok: Istimewa.

NETIZEN

Hegemoni K-Pop dan Secangkir Kopi

Rabu, 22 Okt 2025 - 06:15 WIB