JAKARTA, POSNEWS.CO.ID – Di tengah kesadaran global akan perubahan iklim, sebuah beban psikologis baru telah muncul, terutama di kalangan generasi muda. Ini bukan sekadar kekhawatiran biasa. Sebaliknya, para ahli psikologi menyebutnya Eco-Anxiety (Kecemasan Iklim).
Secara definisi, eco-anxiety adalah “kecemasan kronis, rasa duka, atau ketakutan eksistensial terhadap kerusakan lingkungan dan malapetaka iklim.”
Bagi Gen Z, ini bukanlah ancaman abstrak di masa depan; melainkan krisis yang terjadi di sini dan saat ini. Parahnya lagi, mereka merasa generasi sebelumnya dan para pemimpin politik telah gagal mengatasinya secara serius.
Dari Marah hingga “Birth Strike”
Kecemasan ini memanifestasikan dirinya dalam berbagai bentuk emosi yang kuat dan terkadang melumpuhkan:
- Rasa Marah dan Bersalah: Pertama, ada rasa marah yang mendalam terhadap generasi sebelumnya dan pembuat kebijakan. Gen Z merasa para pemimpin telah “mencuri” masa depan mereka. Selain itu, banyak juga yang melaporkan perasaan bersalah secara personal atas jejak karbon mereka sendiri.
- Depresi dan Keputusasaan: Selanjutnya, kecemasan ini dapat berkembang menjadi depresi klinis atau keputusasaan eksistensial—perasaan bahwa “semuanya sudah terlambat”.
- Birth Strike (Mogok Punya Anak): Bahkan, fenomena ini telah mendorong keputusan drastis. Beberapa anak muda secara terbuka mempertimbangkan atau memutuskan untuk tidak memiliki anak (birth strike). Alasan mereka: mereka tidak ingin membawa anak ke dunia yang mereka yakini sedang menuju kehancuran ekologis.
Paparan Berita dan Kelambanan Politik
Lalu, mengapa generasi ini merasakannya lebih kuat? Penyebab utamanya adalah paparan informasi yang tanpa henti.
Berbeda dengan generasi sebelumnya, Gen Z tumbuh dengan smartphone. Akibatnya, mereka secara konstan menerima aliran berita, video, dan citra bencana iklim—kebakaran hutan masif, pencairan es di Arktik, banjir bandang, dan laporan ilmiah yang suram.
Di sisi lain, mereka melihat kontras yang tajam. Mereka menyaksikan para pemimpin politik berdebat tanpa henti dalam konferensi iklim (COP). Akan tetapi, mereka melihat kelambanan respons yang sangat mengecewakan dalam implementasi kebijakan. Kesenjangan antara urgensi ilmiah dan kelambanan politik inilah yang menjadi bahan bakar utama eco-anxiety.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Mendorong Gaya Hidup dan Aktivisme Gen Z
Namun, eco-anxiety bukan hanya soal keputusasaan; ia juga menjadi motivator yang kuat. Kecemasan ini secara langsung mempengaruhi pilihan hidup Gen Z dalam tiga area utama:
- Pilihan Gaya Hidup: Banyak yang mengadopsi gaya hidup rendah karbon. Misalnya, mereka menjadi vegan/vegetarian, menolak fast fashion (industri mode cepat), dan memilih transportasi publik.
- Pilihan Karier: Mereka semakin mencari pekerjaan di sektor “hijau” atau energi terbarukan. Sebaliknya, mereka secara aktif menghindari perusahaan (seperti bahan bakar fosil) yang mereka anggap memperburuk krisis.
- Aktivisme: Tentu saja, ini mendorong gelombang aktivisme iklim global. Gerakan seperti Fridays for Future (yang Greta Thunberg pelopori) sepenuhnya digerakkan oleh generasi yang mengubah kecemasan mereka menjadi tuntutan politik yang keras dan mendesak.
Dari Keputusasaan Individu Menjadi Aksi Kolektif
Pada akhirnya, eco-anxiety adalah respons yang sangat rasional dan logis terhadap krisis yang sangat nyata. Mengabaikan atau meremehkan perasaan ini sebagai “terlalu sensitif” adalah sebuah kesalahan besar.
Akan tetapi, para ahli memperingatkan bahwa berkutat dalam keputusasaan individu tidaklah produktif dan hanya akan melumpuhkan.
Maka, kunci untuk mengelola eco-anxiety adalah mengubahnya. Kita harus mengubah ketakutan individu menjadi aksi kolektif yang bermakna. Baik itu melalui aktivisme politik, mendorong inovasi di tempat kerja, atau membangun komunitas lokal yang tangguh, solusi untuk beban psikologis ini ternyata sama dengan solusi untuk krisis iklim itu sendiri: aksi nyata.
Penulis : Ahmad Haris Kurnia
Editor : Ahmad Haris Kurnia





















