JAKARTA, POSNEWS.CO.ID – Dalam dekade terakhir, lanskap pekerjaan telah berubah drastis. Akibatnya, jutaan orang di seluruh dunia kini bekerja di Ekonomi Gig (Gig Economy). Tentu saja, kita melihat mereka setiap hari. Mereka adalah pengemudi ojek online (ojol), kurir paket yang bergegas, atau freelancer desain dan penulisan yang bekerja berbasis proyek di platform digital. Pada awalnya, model ini menawarkan sesuatu yang terlihat revolusioner: kemerdekaan.
Mitos “Menjadi Bos bagi Diri Sendiri”
Secara teori, janji ekonomi gig sangat menggiurkan. Platform digital (aplikator) menjual gagasan “kebebasan” dan “fleksibilitas”. Misalnya, pekerja dapat menentukan jam kerja mereka sendiri. Mereka bisa “menjadi bos bagi diri sendiri”.
Oleh karena itu, mereka tidak terikat pada rutinitas 9-ke-5 yang kaku atau perintah manajer di kantor. Bagi banyak orang, terutama generasi muda, ini terdengar seperti bentuk kemerdekaan sejati dari pekerjaan tradisional.
“Prekariat” yang Dikelola Algoritma
Akan tetapi, setelah bertahun-tahun berjalan, mitos fleksibilitas itu mulai retak. Di balik kebebasan semu, muncul sebuah realitas baru yang oleh para sosiolog disebut sebagai Prekariat Digital (proletariat yang hidup dalam kondisi rentan/precarious).
Realitas ini memiliki tiga pilar yang suram:
- Ketidakpastian Pendapatan: Pertama, fleksibilitas ternyata berarti ketidakpastian. Pendapatan bisa anjlok kapan saja karena perubahan skema insentif atau karena algoritma tiba-tiba memberi lebih sedikit pesanan. Tidak ada gaji bulanan yang pasti.
- Ketiadaan Jaminan Sosial: Kedua, dan yang paling penting, pekerja gig hidup tanpa jaring pengaman sosial. Mereka tidak mendapatkan asuransi kesehatan, jaminan hari tua (pensiun), tunjangan hari raya, atau bahkan cuti sakit yang dibayar. Jika mereka sakit atau mengalami kecelakaan di jalan, pendapatan mereka langsung berhenti pada hari itu juga.
- Manajer Bernama Algoritma: Ketiga, mitos “bos bagi diri sendiri” runtuh. Pada kenyataannya, mereka memiliki bos baru yang lebih kejam dan tidak terlihat: Algoritma. Algoritma menentukan pesanan, menghitung tarif (yang seringkali turun sepihak), memantau kinerja secara real-time, dan bisa memberikan sanksi atau “putus mitra” (PHK) secara otomatis tanpa ruang negosiasi.
Status “Mitra” vs. “Pekerja”
Masalah utamanya terletak pada status hukum. Platform (aplikator) secara cerdik mengklasifikasikan pekerja mereka sebagai “Mitra” (Partner), bukan “Pekerja” (Employee).
Akibat penggunaan istilah “mitra” ini, perusahaan bisa menghindari semua tanggung jawab hukum ketenagakerjaan. Mereka tidak perlu membayar UMR, memberi pesangon, membayar lembur, atau menyediakan jaminan sosial (BPJS Ketenagakerjaan).
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Oleh karena itu, di seluruh dunia, kita menyaksikan perjuangan global dari para pengemudi dan kurir. Mereka berdemonstrasi menuntut hak-hak dasar. Mereka berjuang untuk mendapatkan pengakuan sebagai “pekerja” yang layak mendapat perlindungan, bukan hanya “mitra” yang rentan dan tereksploitasi.
Mencari Jaring Pengaman Baru
Pada akhirnya, ekonomi gig tidak akan hilang. Fleksibilitas memang menawarkan nilai nyata bagi sebagian orang. Akan tetapi, model saat ini jelas telah menciptakan kelas pekerja baru yang sangat rentan.
Maka, tantangan bagi pemerintah dan masyarakat bukanlah bagaimana menghentikan ekonomi gig, melainkan bagaimana mengaturnya.
Kita membutuhkan model perlindungan pekerja yang baru dan inovatif yang sesuai untuk era digital ini. Mungkin ini berupa skema jaminan sosial universal yang fleksibel (di mana kontribusi dibagi antara pekerja, platform, dan negara), atau definisi hukum baru (seperti “pekerja-independen”) yang menjamin hak-hak dasar tanpa menghilangkan fleksibilitas. Sebab, fleksibilitas seharusnya tidak berarti kehilangan martabat atau jaminan keselamatan kerja.
Penulis : Ahmad Haris Kurnia
Editor : Ahmad Haris Kurnia





















