JAKARTA, POSNEWS.CO.ID — Fenomena “Anak Jaksel” telah lama menjadi topik perbincangan yang hangat di media sosial. Stereotip ini biasanya merujuk pada anak muda Jakarta Selatan yang khas dengan gaya bicaranya yang mencampur Bahasa Indonesia dan Inggris, selera musik indie, serta kebiasaan nongkrong di kedai kopi artisan. Banyak orang mungkin menganggapnya sekadar gaya hidup atau tren sesaat. Namun, jika kita melihat lebih dalam, fenomena ini sebenarnya menyingkap sebuah mekanisme sosial yang kompleks tentang bagaimana lingkungan sosial menentukan status seseorang.
Mengapa masyarakat menganggap cara berbicara dan selera tertentu bisa menjadi begitu penting sebagai penanda kelas sosial? Sosiolog Prancis, Pierre Bourdieu, memberikan jawaban yang tajam melalui konsepnya tentang modal yang tidak selalu berbentuk uang.
Aset yang Tidak Tertulis di Rekening Bank
Pierre Bourdieu memperkenalkan konsep Modal Kultural untuk menjelaskan berbagai aset non-finansial yang dimiliki seseorang dan dapat memberikan keuntungan dalam masyarakat. Berbeda dengan modal ekonomi (uang dan properti), modal kultural berbentuk pengetahuan, keterampilan, gaya, cara berbicara, dan bahkan etiket sosial. Bourdieu membaginya menjadi tiga bentuk utama:
- Modal Melekat (Embodied): Pengetahuan dan keterampilan yang telah menjadi bagian dari diri seseorang, seperti aksen, cara berbicara, atau pemahaman tentang seni.
- Modal Objektif (Objectified): Kepemilikan benda-benda budaya, misalnya koleksi buku, karya seni, atau bahkan gawai dari merek tertentu.
- Modal Terinstitusi (Institutionalized): Pengakuan formal dari sebuah institusi, seperti ijazah dari universitas ternama.
Menurut Bourdieu, ketika kelompok dominan mengakui modal kultural seseorang, individu tersebut akan lebih mudah diterima dan mendapatkan keuntungan sosial.
Membedah ‘Modal’ Seorang Anak Jaksel
Fenomena “Anak Jaksel” adalah contoh nyata dari cara kerja modal kultural di lingkungan urban Indonesia. Stereotip yang melekat pada mereka sebenarnya adalah akumulasi dari berbagai bentuk modal ini.
Sebagai contoh, kemampuan berbicara dengan campuran Bahasa Inggris yang fasih bukan sekadar gaya. Kemampuan ini adalah modal melekat yang menandakan latar belakang pendidikan atau lingkungan pergaulan tertentu. Di dunia profesional, penguasaan bahasa ini sering kali menjadi tiket untuk mendapatkan akses ke peluang karier yang lebih baik, terutama di perusahaan multinasional.
Selanjutnya, pilihan tempat nongkrong, merek pakaian yang mereka kenakan, atau pengetahuan tentang musik dan film niche adalah modal objektif. Semua ini berfungsi sebagai penanda “selera yang baik” dalam lingkaran sosial mereka. Akibatnya, individu yang memiliki selera yang sama akan lebih mudah membangun jaringan sosial (networking), yang pada akhirnya juga merupakan sebuah modal penting.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Ketidaksetaraan yang Terselubung
Implikasi dari teori ini sangatlah signifikan. Bourdieu menunjukkan bahwa ketidaksetaraan sosial tidak hanya terjadi karena perbedaan kekayaan ekonomi. Lebih dari itu, penguasaan modal kultural turut melanggengkan ketidaksetaraan. Sistem pendidikan dan lingkungan keluarga memainkan peran besar dalam mewariskan modal ini dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Akibatnya, individu yang tidak memiliki akses terhadap modal kultural yang masyarakat dominan anggap superior akan menghadapi rintangan tak kasat mata dalam mobilitas sosial. Mereka mungkin akan merasa “salah kostum” atau “tidak nyambung” dalam lingkungan sosial atau profesional tertentu, meskipun mereka memiliki kompetensi teknis yang mumpuni. Pada akhirnya, fenomena ‘Anak Jaksel’ mengingatkan kita bahwa pertarungan untuk mendapatkan posisi di masyarakat tidak hanya soal kerja keras, tetapi juga soal penguasaan kode-kode budaya yang tak tertulis.
Penulis : Ahmad Haris Kurnia
Editor : Ahmad Haris Kurnia