JAKARTA, POSNEWS.CO.ID — Anda baru saja keluar dari bioskop setelah menonton film pahlawan super terbaru. Ceritanya terasa familier: pahlawan yang enggan, penjahat dengan motivasi samar, pertarungan akhir di tengah kehancuran kota, dan adegan pasca-kredit yang menjanjikan sekuel. Di radio mobil, lagu pop yang sedang tren diputar. Ritmenya menarik, tetapi melodinya terdengar seperti puluhan lagu lain yang pernah Anda dengar. Kemudian, muncul sebuah perasaan lelah, sebuah pertanyaan: mengapa semua ini terasa begitu sama?
Kelelahan terhadap produk budaya yang formulais dan mudah ditebak ini bukanlah sekadar masalah selera. Fenomena ini merupakan gejala dari sebuah sistem produksi yang lebih besar, sebuah “pabrik” tak terlihat yang mencetak budaya populer kita. Dua pemikir dari Mazhab Frankfurt, Theodor Adorno dan Max Horkheimer, telah mengidentifikasi mesin ini hampir seabad yang lalu.
Seni sebagai Barang Produksi Massal
Pada tahun 1940-an, Theodor Adorno dan Max Horkheimer memperkenalkan konsep Industri Budaya (The Culture Industry). Mereka berargumen bahwa dalam masyarakat kapitalis modern, budaya tidak lagi muncul secara organik atau sebagai ekspresi artistik yang otentik. Sebaliknya, sistem ini memproduksi budaya secara massal, layaknya mobil atau sabun di pabrik.
Tujuan utama dari Industri Budaya bukanlah untuk mencerahkan, menantang, atau memprovokasi pemikiran. Tujuan utamanya adalah untuk menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya. Untuk mencapai hal ini, produk budaya harus dibuat seragam, standar, dan mudah dikonsumsi oleh audiens seluas mungkin. Kreativitas yang radikal dan orisinalitas yang berisiko kemudian tergantikan oleh formula yang telah terbukti berhasil.
Standardisasi Plot dan Karakter
Kritik Adorno dan Horkheimer terasa sangat relevan saat kita melihat lanskap media populer saat ini. Standardisasi adalah kunci dari Industri Budaya. Kita melihatnya dalam plot film blockbuster yang sering kali mengikuti struktur naratif yang kaku. Berbagai studio terus mendaur ulang karakter-karakter arketipe: pahlawan yatim piatu, mentor bijaksana yang harus mati, atau tokoh sampingan yang lucu untuk meredakan ketegangan.
Dalam musik pop, standardisasi terlihat pada struktur lagu (bait-refrain-bait-refrain-bridge-refrain), progresi akor yang umum, dan penggunaan autotune yang menciptakan suara vokal yang seragam. Menurut Adorno, seni yang seharusnya berfungsi sebagai kritik terhadap masyarakat—yang menunjukkan celah dan kontradiksi dalam kehidupan kita—justru menjadi alat untuk menenangkannya. Produk Industri Budaya memberikan hiburan yang dangkal dan familiar, yang membuat kita pasif dan menerima keadaan apa adanya.
Matinya Pemikiran Kritis
Konsekuensi paling berbahaya dari Industri Budaya adalah matinya pemikiran kritis dan imajinasi. Ketika sistem terus-menerus menyuguhi kita produk budaya yang seragam, kemampuan kita untuk membayangkan alternatif atau menghargai karya yang kompleks dan menantang akan menurun. Kita menjadi konsumen pasif, bukan partisipan aktif dalam budaya.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Seni yang otentik seharusnya mengejutkan kita, membuat kita tidak nyaman, dan memaksa kita untuk melihat dunia dengan cara baru. Sebaliknya, Industri Budaya memberikan apa yang sudah kita kenal, mengemasnya kembali dalam bungkus yang sedikit berbeda, dan menjualnya sebagai sesuatu yang baru. Di tengah gempuran budaya yang seragam ini, tantangan terbesar adalah menemukan dan mendukung kreativitas sejati yang berani keluar dari jalur perakitan pabrik kultur.
Penulis : Ahmad Haris Kurnia
Editor : Ahmad Haris Kurnia