Sun Tzu vs. Clausewitz: Relevansi Dua Filsuf Perang di Abad ke-21

Rabu, 12 November 2025 - 17:02 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ilustrasi, Sun Tzu ingin menang tanpa perang, Clausewitz melihat perang sebagai kelanjutan politik. Di era perang siber, strategi siapa yang lebih unggul? Dok: Istimewa.

Ilustrasi, Sun Tzu ingin menang tanpa perang, Clausewitz melihat perang sebagai kelanjutan politik. Di era perang siber, strategi siapa yang lebih unggul? Dok: Istimewa.

JAKARTA, POSNEWS.CO.ID — Untuk memahami konflik modern, para ahli strategi selalu kembali ke dua teks fundamental yang berusia ratusan tahun. Di satu sisi, kita memiliki The Art of War (Seni Berperang) karya Sun Tzu, seorang jenderal Tiongkok kuno. Di sisi lain, kita memiliki On War (Tentang Perang) karya Carl von Clausewitz, seorang perwira Prusia abad ke-19.

Meskipun mereka hidup terpisah ribuan tahun, namun kedua pemikir ini meletakkan dasar filosofis tentang bagaimana negara dan individu seharusnya mendekati konflik. Di abad ke-21 yang penuh dengan perang hibrida dan persaingan bisnis yang ketat, perdebatan mereka menjadi lebih relevan dari sebelumnya.

Filosofi Sun Tzu: Menang Cerdas Tanpa Bertempur

Filosofi Sun Tzu berpusat pada efisiensi maksimum dan realisme psikologis. Baginya, “kemenangan tertinggi adalah menaklukkan musuh tanpa perlu bertempur sama sekali.” Perang fisik adalah kegagalan strategi, sebuah pilihan terakhir yang mahal.

Oleh karena itu, Sun Tzu menekankan beberapa elemen kunci:

  1. Intelijen (Mata-mata): Ia menempatkan intelijen di atas segalanya. “Kenali musuhmu dan kenali dirimu sendiri, maka kau tidak perlu takut akan hasil dari seratus pertempuran.”
  2. Tipu Daya (Deception): Perang adalah permainan ilusi. Sun Tzu mengajarkan komandan untuk terlihat lemah saat kuat, dan kuat saat lemah; tampak kacau saat terorganisir.
  3. Psikologi dan Kecepatan: Selain itu, ia melihat perang sebagai permainan psikologis. Tujuannya adalah menghancurkan kemauan musuh untuk berperang, bukan menghancurkan tentaranya secara fisik. Ia pun memprioritaskan kecepatan dan adaptasi.

Singkatnya, Sun Tzu menginginkan kejelasan, prediktabilitas, dan kontrol sebelum konflik pecah.

Baca Juga :  Keynes vs. Hayek: Perdebatan Abadi tentang Peran Pemerintah dalam Ekonomi

Filosofi Clausewitz: Politik, Kabut, dan Pusat Gravitasi

Sebaliknya, Carl von Clausewitz menulis dari pengalamannya dalam Perang Napoleon yang brutal dan berskala besar. Akibatnya, ia melihat perang sebagai aktivitas yang kacau, penuh gairah, dan sangat manusiawi.

Karya Clausewitz memberikan kita tiga konsep abadi:

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

  1. Perang sebagai Kelanjutan Politik: Ini adalah gagasannya yang paling terkenal. Bagi Clausewitz, perang bukanlah kegagalan politik; perang adalah “kelanjutan dari politik dengan cara lain.” Negara menggunakan kekerasan terorganisir hanya untuk mencapai tujuan politik yang spesifik.
  2. “Kabut Perang” (Fog of War): Berbeda dengan Sun Tzu yang mengejar kejelasan, Clausewitz berargumen bahwa perang pada dasarnya tidak pasti, kacau, dan penuh “gesekan” (friction). Informasi tidak akan pernah lengkap, dan rencana terbaik pun akan berantakan begitu peluru pertama ditembakkan.
  3. “Pusat Gravitasi” (Center of Gravity): Karena itu, Clausewitz mengusulkan agar strategi berfokus pada satu titik vital. Komandan harus mengidentifikasi “pusat gravitasi” musuh—sumber kekuatan inti mereka, baik itu tentara, pemimpin, atau opini publik—dan menghancurkannya dengan kekuatan penuh.

Bisnis, Perang Siber, dan Diplomasi

Di abad ke-21, perdebatan ini menjadi semakin relevan, dan kedua filsuf tersebut “memenangkan” medan yang berbeda.

Sun Tzu Mendominasi Bisnis dan Perang Hibrida: Perang Hibrida dan perang siber adalah realisasi murni dari ajaran Sun Tzu. Sebagai contoh, pelaku hibrida menggunakan disinformasi (tipu daya) untuk memecah psikologi lawan. Mereka juga menggunakan spionase siber (intelijen) untuk mencuri data. Akibatnya, mereka memenangkan konflik psikologis tanpa perlu meluncurkan invasi militer. Demikian pula, dunia bisnis mengadopsi Sun Tzu secara luas. Perusahaan menggunakan intelijen pasar (kenali pesaing) dan strategi pemasaran (psikologi) untuk memenangkan pangsa pasar.

Baca Juga :  Medan Perang Siber: Masa Depan Konflik di Domain Kelima

Clausewitz Tetap Mendominasi Politik dan Perang Besar: Namun, Clausewitz tetap mendominasi pemikiran militer Barat dan kebijakan negara adidaya. Invasi militer besar masih analis pandang sebagai alat politik (misalnya, Perang Melawan Teror atau konflik antar negara). Para jenderal di Pentagon masih mencari “pusat gravitasi” musuh untuk dihancurkan. Bahkan, diplomasi internasional mengikuti logika Clausewitz: negosiasi seringkali berjalan di bawah bayang-bayang ancaman perang.

Sintesis yang Tak Terhindarkan

Pada akhirnya, bertanya siapa yang ‘lebih relevan’ mungkin adalah pertanyaan yang salah. Konflik kontemporer membutuhkan sintesis dari keduanya. Kita hidup dalam dunia yang dijalankan oleh kedua prinsip tersebut secara bersamaan.

Sun Tzu mengajari kita cara beroperasi di “zona abu-abu” yang baru—dunia siber, informasi, dan persaingan ekonomi. Ia adalah filsuf strategi non-militer.

Sementara itu, Clausewitz mengingatkan kita pada kenyataan brutal bahwa perang fisik adalah urusan yang kacau, didorong oleh politik, dan memiliki tujuan akhir yang harus jelas. Ia adalah filsuf strategi perang itu sendiri.

Strategis modern tidak bisa hanya memilih satu. Mereka harus membaca Sun Tzu di pagi hari untuk merencanakan strategi bisnis dan siber mereka, dan membaca Clausewitz di malam hari untuk memahami realitas politik global yang keras.

Penulis : Ahmad Haris Kurnia

Editor : Ahmad Haris Kurnia

Follow WhatsApp Channel www.posnews.co.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Rahasia Panjang Umur Karier LeBron James dan CR7
Doping Genetik: Batas Baru Kecurangan yang Tak Terdeteksi
Banjir Jakarta Makin Meluas: 30 RT Terendam, Air Tembus 90 Cm Usai Hujan Deras
Menteri Supratman, Aturan Penyadapan Bakal Disatukan dalam Satu UU Khusus
Imigrasi Amankan WZ, Buronan Penipuan Rp 2,2 Triliunan Asal China di Batam
Suporter atau Perusuh? Membedah Psikologi Massa di Stadion
Kasus Video Porno Lisa Mariana, Model Cantik Ini Kembali Diperiksa Polisi
Banjir 50 Cm Rendam Tiga Ruas Jalan Jakarta, Lalu Lintas Lumpuh

Berita Terkait

Selasa, 18 November 2025 - 19:26 WIB

Rahasia Panjang Umur Karier LeBron James dan CR7

Selasa, 18 November 2025 - 19:15 WIB

Doping Genetik: Batas Baru Kecurangan yang Tak Terdeteksi

Selasa, 18 November 2025 - 17:23 WIB

Banjir Jakarta Makin Meluas: 30 RT Terendam, Air Tembus 90 Cm Usai Hujan Deras

Selasa, 18 November 2025 - 16:31 WIB

Menteri Supratman, Aturan Penyadapan Bakal Disatukan dalam Satu UU Khusus

Selasa, 18 November 2025 - 15:59 WIB

Imigrasi Amankan WZ, Buronan Penipuan Rp 2,2 Triliunan Asal China di Batam

Berita Terbaru

Ilustrasi, LeBron James dan CR7 masih mendominasi di usia 40-an. Rahasianya bukan hanya latihan keras, tapi sains pemulihan (recovery) yang ekstrem. Dok: Istimewa.

SPORT

Rahasia Panjang Umur Karier LeBron James dan CR7

Selasa, 18 Nov 2025 - 19:26 WIB