JAKARTA, POSNEWS.CO.ID — Untuk memahami konflik modern, para ahli strategi selalu kembali ke dua teks fundamental yang berusia ratusan tahun. Di satu sisi, kita memiliki The Art of War (Seni Berperang) karya Sun Tzu, seorang jenderal Tiongkok kuno. Di sisi lain, kita memiliki On War (Tentang Perang) karya Carl von Clausewitz, seorang perwira Prusia abad ke-19.
Meskipun mereka hidup terpisah ribuan tahun, namun kedua pemikir ini meletakkan dasar filosofis tentang bagaimana negara dan individu seharusnya mendekati konflik. Di abad ke-21 yang penuh dengan perang hibrida dan persaingan bisnis yang ketat, perdebatan mereka menjadi lebih relevan dari sebelumnya.
Filosofi Sun Tzu: Menang Cerdas Tanpa Bertempur
Filosofi Sun Tzu berpusat pada efisiensi maksimum dan realisme psikologis. Baginya, “kemenangan tertinggi adalah menaklukkan musuh tanpa perlu bertempur sama sekali.” Perang fisik adalah kegagalan strategi, sebuah pilihan terakhir yang mahal.
Oleh karena itu, Sun Tzu menekankan beberapa elemen kunci:
- Intelijen (Mata-mata): Ia menempatkan intelijen di atas segalanya. “Kenali musuhmu dan kenali dirimu sendiri, maka kau tidak perlu takut akan hasil dari seratus pertempuran.”
- Tipu Daya (Deception): Perang adalah permainan ilusi. Sun Tzu mengajarkan komandan untuk terlihat lemah saat kuat, dan kuat saat lemah; tampak kacau saat terorganisir.
- Psikologi dan Kecepatan: Selain itu, ia melihat perang sebagai permainan psikologis. Tujuannya adalah menghancurkan kemauan musuh untuk berperang, bukan menghancurkan tentaranya secara fisik. Ia pun memprioritaskan kecepatan dan adaptasi.
Singkatnya, Sun Tzu menginginkan kejelasan, prediktabilitas, dan kontrol sebelum konflik pecah.
Filosofi Clausewitz: Politik, Kabut, dan Pusat Gravitasi
Sebaliknya, Carl von Clausewitz menulis dari pengalamannya dalam Perang Napoleon yang brutal dan berskala besar. Akibatnya, ia melihat perang sebagai aktivitas yang kacau, penuh gairah, dan sangat manusiawi.
Karya Clausewitz memberikan kita tiga konsep abadi:
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
- Perang sebagai Kelanjutan Politik: Ini adalah gagasannya yang paling terkenal. Bagi Clausewitz, perang bukanlah kegagalan politik; perang adalah “kelanjutan dari politik dengan cara lain.” Negara menggunakan kekerasan terorganisir hanya untuk mencapai tujuan politik yang spesifik.
- “Kabut Perang” (Fog of War): Berbeda dengan Sun Tzu yang mengejar kejelasan, Clausewitz berargumen bahwa perang pada dasarnya tidak pasti, kacau, dan penuh “gesekan” (friction). Informasi tidak akan pernah lengkap, dan rencana terbaik pun akan berantakan begitu peluru pertama ditembakkan.
- “Pusat Gravitasi” (Center of Gravity): Karena itu, Clausewitz mengusulkan agar strategi berfokus pada satu titik vital. Komandan harus mengidentifikasi “pusat gravitasi” musuh—sumber kekuatan inti mereka, baik itu tentara, pemimpin, atau opini publik—dan menghancurkannya dengan kekuatan penuh.
Bisnis, Perang Siber, dan Diplomasi
Di abad ke-21, perdebatan ini menjadi semakin relevan, dan kedua filsuf tersebut “memenangkan” medan yang berbeda.
Sun Tzu Mendominasi Bisnis dan Perang Hibrida: Perang Hibrida dan perang siber adalah realisasi murni dari ajaran Sun Tzu. Sebagai contoh, pelaku hibrida menggunakan disinformasi (tipu daya) untuk memecah psikologi lawan. Mereka juga menggunakan spionase siber (intelijen) untuk mencuri data. Akibatnya, mereka memenangkan konflik psikologis tanpa perlu meluncurkan invasi militer. Demikian pula, dunia bisnis mengadopsi Sun Tzu secara luas. Perusahaan menggunakan intelijen pasar (kenali pesaing) dan strategi pemasaran (psikologi) untuk memenangkan pangsa pasar.
Clausewitz Tetap Mendominasi Politik dan Perang Besar: Namun, Clausewitz tetap mendominasi pemikiran militer Barat dan kebijakan negara adidaya. Invasi militer besar masih analis pandang sebagai alat politik (misalnya, Perang Melawan Teror atau konflik antar negara). Para jenderal di Pentagon masih mencari “pusat gravitasi” musuh untuk dihancurkan. Bahkan, diplomasi internasional mengikuti logika Clausewitz: negosiasi seringkali berjalan di bawah bayang-bayang ancaman perang.
Sintesis yang Tak Terhindarkan
Pada akhirnya, bertanya siapa yang ‘lebih relevan’ mungkin adalah pertanyaan yang salah. Konflik kontemporer membutuhkan sintesis dari keduanya. Kita hidup dalam dunia yang dijalankan oleh kedua prinsip tersebut secara bersamaan.
Sun Tzu mengajari kita cara beroperasi di “zona abu-abu” yang baru—dunia siber, informasi, dan persaingan ekonomi. Ia adalah filsuf strategi non-militer.
Sementara itu, Clausewitz mengingatkan kita pada kenyataan brutal bahwa perang fisik adalah urusan yang kacau, didorong oleh politik, dan memiliki tujuan akhir yang harus jelas. Ia adalah filsuf strategi perang itu sendiri.
Strategis modern tidak bisa hanya memilih satu. Mereka harus membaca Sun Tzu di pagi hari untuk merencanakan strategi bisnis dan siber mereka, dan membaca Clausewitz di malam hari untuk memahami realitas politik global yang keras.
Penulis : Ahmad Haris Kurnia
Editor : Ahmad Haris Kurnia





















