JAKARTA, POSNEWS.CO.ID — Selama seabad, nama Michelin identik dengan kemewahan kuliner. Mendapatkan Bintang Michelin (Michelin Star) adalah impian tertinggi para koki, sebuah impian yang sering orang asosiasikan dengan taplak meja putih kaku, layanan presisi, dan harga yang fantastis. Namun, dalam dekade terakhir, sebuah revolusi senyap terjadi. Panduan elite ini mulai melihat ke jalanan.
Fenomena ini mengguncang fondasi dunia fine dining. Standar emas yang dulu begitu kaku, kini membungkuk pada kelezatan sepiring mi gerobak atau omelet kepiting di wajan berasap. Ini adalah pengakuan bahwa kehebatan rasa tidak terikat pada lokasi, harga, atau kemewahan.
Dari Panduan Ban ke Standar Emas
Kisah Michelin Guide dimulai pada tahun 1900 di Prancis. Awalnya, ini adalah buku panduan gratis dari perusahaan ban Michelin untuk para pengendara mobil, berisi info peta, bengkel, dan hotel. Tujuannya sederhana: mendorong orang untuk lebih banyak mengemudi (dan membeli lebih banyak ban).
Seiring waktu, bagian restoran di panduan ini menjadi sangat populer dan serius. Perusahaan lalu memperkenalkan sistem bintang pada tahun 1926. Selama puluhan tahun, panduan ini menjadi “kitab suci” haute cuisine Eropa, menciptakan dan menghancurkan reputasi koki dengan standar anonimitas dan ketelitiannya yang legendaris.
Revolusi Kaki Lima
Titik baliknya terjadi ketika Michelin berekspansi ke Asia. Para penilai (inspektur) anonim mereka menghadapi realitas kuliner yang berbeda: rasa terbaik seringkali tidak mereka temukan di restoran mewah, tetapi di kedai sederhana dan gerobak kaki lima.
Pada tahun 2016, dunia kuliner terkejut. Michelin memberikan satu bintang kepada dua kedai kaki lima di Singapura: Hill Street Tai Hwa Pork Noodle dan Liao Fan Hong Kong Soya Sauce Chicken Rice & Noodle. Orang bisa menikmati hidangan pemenang bintang ini dengan harga kurang dari 5 Dolar Singapura. Beberapa tahun kemudian, Jay Fai di Bangkok, seorang koki wanita berusia 70-an dengan kacamata ski ikoniknya, juga meraih bintang untuk omelet kepiting legendarisnya yang ia masak dengan arang.
Berkah atau Beban?
Pengakuan ini memicu perdebatan. Di satu sisi, ini adalah demokratisasi rasa. Michelin akhirnya mengakui bahwa teknik, kualitas bahan, dan konsistensi rasa di kaki lima bisa setara dengan fine dining.
Namun, di sisi lain, muncul pertanyaan baru. Apakah standar Michelin masih relevan jika bisa membandingkan kedai 3 dolar dengan restoran 300 dolar? Bagi pedagang kecil, bintang ini bisa menjadi berkah sekaligus kutukan. Ketenaran instan membawa antrean turis yang mengular, tetapi juga tekanan luar biasa untuk menjaga konsistensi di bawah sorotan global. Beberapa pedagang bahkan kewalahan oleh ekspektasi baru tersebut.
Kesimpulan
Pergeseran Michelin ke street food adalah pengakuan global yang penting. Ini adalah validasi tertinggi bahwa kehebatan gastronomi tidak mengenal kelas. Pengakuan ini menegaskan apa yang sudah banyak orang ketahui: keajaiban kuliner bisa ditemukan di mana saja, baik di balik pintu restoran mewah atau di atas wajan panas di pinggir jalan yang bising. Pada akhirnya, lidah tidak berbohong, dan rasa otentik tidak terikat pada taplak meja putih.
Penulis : Ahmad Haris Kurnia
Editor : Ahmad Haris Kurnia






















