JAKARTA, POSNEWS.CO.ID —Pernahkah Anda memperhatikan bangku taman yang memiliki pembatas lengan besi di tengah? Pembatas itu memang tidak nyaman untuk diduduki. Namun, fungsinya lebih spesifik: agar tidak ada yang bisa berbaring atau tidur di atasnya.
Atau mungkin Anda pernah melihat paku-paku beton tumpul di sudut-sudut emperan toko? Atau bahkan trotoar miring di bawah jembatan layang?
Ini bukanlah kebetulan desain atau sekadar estetika. Sebaliknya, ini adalah “Arsitektur Musuh” (Hostile Architecture). Ini merupakan sebuah strategi desain perkotaan yang disengaja.
Apa Itu ‘Arsitektur Musuh’?
Arsitektur Musuh—atau dikenal sebagai desain defensif—adalah sebuah praktik desain. Praktik ini menggunakan elemen di ruang publik untuk secara sengaja mencegah perilaku tertentu.
Tujuannya adalah untuk “memaksa” orang bertindak sesuai aturan yang pemilik properti inginkan. Misalnya, desain ini mencegah orang duduk berlama-lama, melarang aktivitas skateboarding, atau yang paling umum: mencegah orang tidur di ruang publik.
Target yang Tak Terlihat
Meskipun desainer sering membingkainya dengan bahasa netral seperti “menjaga ketertiban”, Arsitektur Musuh memiliki target yang sangat spesifik.
Desain ini secara tidak proporsional menargetkan kelompok-kelompok rentan, terutama para tunawisma. Contohnya, bangku yang tersekat, trotoar berpaku, atau sistem penyiram otomatis di malam hari. Semua itu adalah cara halus untuk mengatakan: “Anda tidak diterima di sini.”
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Alih-alih menyediakan tempat penampungan, kota secara efektif menggunakan beton dan baja untuk “mengusir” mereka. Akibatnya, mereka yang sudah terpinggirkan menjadi semakin tidak terlihat.
Ketertiban vs. Kemanusiaan
Desain ini jelas memicu perdebatan etis yang tajam. Di satu sisi, pemilik bisnis berargumen bahwa mereka berhak melindungi properti mereka. Mereka ingin menjaga kebersihan dan memastikan “keamanan” di area komersial.
Namun di sisi lain, para kritikus menyebut praktik ini tidak manusiawi. Arsitektur Musuh tidak menyelesaikan akar masalah kemiskinan. Ia hanya memindahkannya ke tempat lain. Pada dasarnya, ini adalah bentuk privatisasi ruang publik. Praktik ini mengubah area milik semua warga menjadi ruang yang hanya nyaman bagi yang mampu.
Desain ini mengirimkan pesan yang dingin: bahwa kenyamanan properti lebih penting daripada keberadaan manusia yang membutuhkan.
Untuk Siapa Ruang Publik Kita?
Arsitektur Musuh memaksa kita untuk mengajukan pertanyaan kritis: Untuk siapa sebenarnya ruang publik kita dirancang?
Apakah taman, trotoar, dan alun-alun kota kita bangun untuk melayani semua lapisan masyarakat, termasuk yang paling rentan? Atau apakah ruang publik kita secara diam-diam telah kita rancang untuk sebagian orang, sambil mengusir mereka yang “tidak pantas”?
Penulis : Ahmad Haris Kurnia
Editor : Ahmad Haris Kurnia





















