JAKARTA, POSNEWS.CO.ID – Selama berabad-abad, strategi militer berfokus pada empat domain perang tradisional: darat, laut, udara, dan kemudian, antariksa. Namun, dalam tiga dekade terakhir, sebuah revolusi senyap telah menciptakan domain kelima yang mungkin paling kritis: Ruang Siber (Cyberspace).
Berbeda dengan domain lain yang memiliki geografi fisik, domain siber adalah ranah buatan manusia yang terdiri dari jaringan komputer, server, dan aliran data global. Akibatnya, perang siber menjadi medan tempur baru yang tak terlihat, beroperasi dengan kecepatan cahaya, dan mengaburkan batas antara negara dan individu.
Dari Spionase ke Sabotase
Perang siber memiliki jangkauan yang luas, jauh melampaui sekadar “peretasan” sederhana. Secara umum, para ahli membagi serangannya menjadi tiga kategori utama:
- Spionase (Pencurian Data): Bentuk ini adalah yang paling umum. Aktor siber menyusup ke jaringan pemerintah atau korporat untuk mencuri rahasia negara (desain senjata, strategi diplomatik), kekayaan intelektual (riset obat, kode sumber perangkat lunak), atau data pribadi jutaan warga.
- Sabotase Infrastruktur Kritis: Bisa dibilang, ancaman ini adalah yang paling menakutkan. Pelaku menggunakan malware canggih untuk mengambil alih dan merusak infrastruktur fisik. Sebagai contoh, mereka bisa mematikan jaringan listrik di tengah musim dingin, mengacaukan sistem perbankan dan bursa saham, atau merusak sistem kontrol lalu lintas udara.
- Perang Informasi (Disinformasi): Seperti bahasan dalam Perang Hibrida, domain siber adalah saluran sempurna untuk propaganda. Aktor negara menggunakan bot farm dan troll untuk menyebarkan disinformasi, memanipulasi opini publik, dan menciptakan kekacauan politik di negara lawan.
Siapa yang Memegang ‘Senjata’ Siber?
Salah satu tantangan terbesar perang siber adalah beragamnya pelaku yang beroperasi di dalamnya:
- Aktor Negara (State Actors): Unit militer atau intelijen resmi (seperti NSA di AS, Unit 61398 di Tiongkok, atau GRU di Rusia) memiliki sumber daya, pendanaan, dan bakat terbaik untuk melakukan operasi siber paling canggih.
- Kelompok Teroris: Organisasi seperti ISIS atau Al-Qaeda menggunakan ruang siber untuk propaganda, rekrutmen, dan penggalangan dana.
- Peretas Non-Negara (Proxy dan Hacktivis): Seringkali, negara menggunakan kelompok peretas “independen” atau “patriotik” sebagai proxy (perpanjangan tangan) untuk melancarkan serangan. Dengan cara ini, negara pelaku bisa menyangkal keterlibatan resminya (plausible deniability).
Stuxnet, ‘Rudal’ Digital Pertama
Jika ada satu momen yang menandai dimulainya era perang siber, itu adalah Stuxnet. Pada tahun 2010, dunia menemukan sebuah worm komputer (program jahat) yang sangat kompleks.
Berbeda dengan virus biasa, Stuxnet tidak mencuri uang atau data. Tujuannya adalah sabotase fisik murni. Para pembuatnya merancang Stuxnet secara spesifik untuk menyusup ke sistem kontrol industri (PLC) buatan Siemens yang mengatur sentrifugal pengayaan uranium di fasilitas nuklir Natanz, Iran.
Secara diam-diam, Stuxnet mengambil alih kontrol sentrifugal, membuatnya berputar terlalu cepat atau terlalu lambat. Akibatnya, Stuxnet secara fisik menghancurkan ratusan sentrifugal. Sementara itu, di ruang kontrol, operator Iran melihat layar yang menunjukkan semuanya berjalan normal. Stuxnet adalah senjata digital pertama yang menimbulkan kerusakan fisik di dunia nyata, setara dengan serangan rudal.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Mengapa Sangat Sulit Bertahan?
Sayangnya, mempertahankan diri di ruang siber jauh lebih sulit daripada menyerang. Pertama, masalah atribusi sangat pelik. Seseorang butuh waktu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, untuk membuktikan secara pasti siapa dalang di balik serangan canggih. Kedua, dunia digital sangat saling terhubung; satu celah keamanan di perangkat lunak yang jutaan orang gunakan (seperti Windows atau router) bisa membuka pintu bagi bencana.
Oleh karena itu, postur pertahanan tradisional tidak berfungsi. Anda tidak bisa membangun “tembok” digital yang tidak bisa ditembus.
Perlombaan Senjata dan ‘Geneva Convention’ Digital
Pada akhirnya, kita sedang menyaksikan “perlombaan senjata siber” yang tidak teratur. Setiap negara besar sedang mengembangkan kemampuan ofensif siber mereka sendiri, menciptakan dan menyimpan “zero-day exploits” (celah keamanan yang belum diketahui) untuk penggunaan di masa depan.
Akan tetapi, tidak ada aturan main yang jelas. Belum ada “Konvensi Jenewa” (Geneva Convention) untuk dunia digital yang mengatur apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan saat konflik siber (misalnya, melarang serangan ke rumah sakit atau jaringan listrik sipil).
Maka, tantangan terbesar kita ke depan bukanlah membangun senjata siber yang lebih kuat, tetapi membangun norma dan hukum internasional untuk mengendalikan domain kelima yang berbahaya dan tak terlihat ini, sebelum senjata-senjata itu berbalik menghancurkan kita semua.
Penulis : Ahmad Haris Kurnia
Editor : Ahmad Haris Kurnia





















