JAKARTA, POSNEWS.CO.ID – Selama ini, ketika kita membahas gangguan citra tubuh, fokus kita seringkali tertuju pada wanita. Kita membicarakan anoreksia atau bulimia. Akan tetapi, ada krisis tersembunyi yang secara spesifik menyerang pria: obsesi untuk menjadi lebih besar.
Masalah ini bukan sekadar “rajin nge-gym“; ia adalah gangguan psikologis serius yang seringkali kita abaikan. Ironisnya, semakin bugar seorang pria terlihat di luar, semakin mungkin ia sedang menderita di dalam.
“Bigorexia”: Kebalikan dari Anoreksia
Para ahli menyebut gangguan ini “Muscle Dysmorphia” (Dismorfia Otot), atau dalam istilah awam, “Bigorexia”.
Secara esensial, ini adalah kebalikan dari anoreksia. Penderitanya adalah pria yang sudah sangat besar dan berotot jika kita lihat dari standar objektif. Namun, ketika ia melihat ke cermin, otaknya melihat sosok yang tetap “terlalu kecil”, kurus, dan tidak memadai. Persepsi yang terdistorsi ini mendorong perilaku obsesif-kompulsif.
Pengaruh Media Sosial dan Standar Hollywood
Tentu saja, gangguan ini tidak muncul begitu saja. Ia mendapat bahan bakar secara konstan dari dua sumber utama di era modern:
- Media Sosial (“Fitspo”): Pertama, algoritma Instagram dan TikTok secara konstan menyodorkan feed “Fitspo” (Fitness Inspiration). Feed ini penuh dengan influencer kebugaran yang memiliki body fat sangat rendah dan otot yang terlihat sempurna (seringkali dibantu pencahayaan, angle, filter, dan zat peningkat performa). Akibatnya, ini menciptakan perbandingan sosial yang konstan dan meracuni.
- Standar Superhero Hollywood: Kedua, standar tubuh pria ideal telah bergeser drastis. Publik kini menyaksikan bombardir citra tubuh aktor superhero (seperti Chris Hemsworth sebagai Thor atau Henry Cavill sebagai Superman). Padahal, untuk mencapai tubuh itu, para aktor menjalani rezim ekstrem yang seringkali mustahil orang biasa capai (dan pertahankan) tanpa bantuan profesional dan bahkan zat terlarang.
Dampak: Steroid, Depresi, dan ‘Overtraining’
Pengejaran tanpa henti atas tubuh “ideal” yang tidak realistis ini membawa konsekuensi yang sangat merusak:
- Penggunaan Steroid Anabolik: Ketika latihan alami mereka rasa terlalu lambat, banyak pria akhirnya mengambil jalan pintas berbahaya: menggunakan steroid anabolik (AAS). Meskipun mempercepat pertumbuhan otot, steroid menghancurkan keseimbangan hormon, merusak organ vital (jantung, hati), dan memperburuk kesehatan mental.
- Depresi dan Isolasi Sosial: Ironisnya, obsesi ini sering berakhir pada depresi. Penderitanya mungkin menghindari acara sosial (seperti pergi ke pantai atau pesta) karena ia merasa “terlalu kecil” dan malu dengan tubuhnya. Latihannya menjadi prioritas di atas keluarga dan pertemanan.
- Latihan Berlebihan (Overtraining): Selain itu, ia mendorong overtraining kronis. Penderitanya merasa sangat bersalah jika melewatkan satu sesi latihan, bahkan saat sakit atau cedera. Pada akhirnya, tindakan ini justru menghambat kemajuan dan menyebabkan kelelahan adrenal.
Kesehatan Mental dalam Komunitas Kebugaran
Pada akhirnya, artikel ini menunjukkan bahwa obsesi pada kebugaran bisa berubah menjadi patologi yang merusak.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Komunitas kebugaran (fitness) seringkali hanya fokus pada kesehatan fisik—otot, nutrisi, dan angka di timbangan atau beban angkatan. Akan tetapi, mereka sering mengabaikan kesehatan mental yang mendasarinya.
Maka, sangat penting untuk membangun kesadaran bahwa menjadi bugar seharusnya tentang menjadi sehat secara keseluruhan. Kekuatan sejati bukan hanya tentang mengangkat beban berat di gym (seperti deadlift), tetapi juga tentang memiliki persepsi diri yang sehat dan merasa damai dengan bayangan di cermin.
Penulis : Ahmad Haris Kurnia
Editor : Ahmad Haris Kurnia





















