BRUSSELS, POSNEWS.CO.ID — Invasi Rusia ke Ukraina seolah menyatukan kembali Barat. Namun, sebuah tantangan strategis yang lebih kompleks kini diam-diam menguji fondasi aliansi tersebut: Tiongkok. Ada perbedaan fundamental dalam cara Amerika Serikat dan Eropa merespons kebangkitan Beijing. Perbedaan ini telah menjadi titik renggang paling signifikan dalam hubungan transatlantik.
Washington melihat Tiongkok sebagai rival utama dalam perebutan hegemoni global. Sebaliknya, Eropa memiliki ketergantungan ekonomi yang mendalam. Benua Biru enggan terseret ke dalam konfrontasi penuh dan memilih pendekatan yang lebih pragmatis.
Amerika Serikat: Strategi Konfrontasi Penuh
Bagi Washington, Tiongkok adalah kompetitor strategis nomor satu, terlepas dari siapa yang berkuasa. Pendekatan Amerika bersifat konfrontatif di hampir semua lini.
- Perang Dagang dan Teknologi: AS secara agresif membatasi akses Tiongkok ke teknologi semikonduktor canggih. Washington juga menekan sekutunya untuk melarang perusahaan seperti Huawei dari jaringan 5G.
- Keamanan Militer: Fokus AS di Indo-Pasifik bertujuan menandingi kekuatan militer Tiongkok yang berkembang pesat. Ini terutama terkait isu Taiwan dan Laut China Selatan.
- Hak Asasi Manusia: AS juga vokal mengkritik catatan HAM Tiongkok di Xinjiang dan Hong Kong. Kritik ini sering menjadi dasar untuk sanksi.
Secara keseluruhan, Washington memandang hubungan dengan Beijing sebagai permainan zero-sum. Keuntungan satu pihak adalah kerugian bagi pihak lain.
Eropa: Tiga Serangkai “Mitra, Pesaing, Rival”
Sementara itu, Uni Eropa mengadopsi pendekatan yang lebih bernuansa. Dokumen strategis Brussels mendefinisikan Tiongkok dalam tiga peran: “mitra kerja sama, pesaing ekonomi, sekaligus rival sistemik”. Tiga serangkai ini mencerminkan dilema yang Eropa hadapi.
Secara ekonomi, Tiongkok adalah mitra dagang yang sangat vital, terutama bagi Jerman. Ketergantungan pada pasar dan rantai pasok Tiongkok membuat decoupling total menjadi pilihan yang merugikan. Karena itu, Eropa memilih strategi “pengurangan risiko” atau de-risking. Tujuannya adalah mengurangi ketergantungan di sektor strategis tanpa memutus hubungan ekonomi.
Friksi yang Semakin Terasa
Perbedaan pandangan ini menciptakan gesekan nyata dalam aliansi.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
- Tekanan 5G: AS mendesak negara-negara Eropa untuk melarang Huawei dari infrastruktur telekomunikasi. Desakan ini menjadi sumber ketegangan besar karena banyak negara Eropa awalnya enggan.
- Investasi Tiongkok: Eropa dan AS juga sering tidak sejalan dalam menanggapi investasi Tiongkok. Ini terutama pada pelabuhan, energi, dan infrastruktur kritis lainnya.
- Pakta AUKUS: Pakta AUKUS antara AS, Inggris, dan Australia juga memicu masalah. Paris menganggap pembentukan aliansi ini sebagai pengabaian terhadap sekutu Eropa karena menyebabkan pembatalan kontrak kapal selam Prancis.
Mencari Jalan Tengah yang Sulit
Meskipun berbeda, bukan berarti Eropa naif. Kesadaran akan tantangan dari Tiongkok terus meningkat. Brussels kini mengembangkan perangkat kebijakannya sendiri. Tujuannya adalah melawan paksaan ekonomi dan melindungi industrinya.
Namun, pertanyaan besar tetap ada. Bisakah pendekatan “pengurangan risiko” Eropa berjalan selaras dengan strategi konfrontasi Amerika? Atau akankah perbedaan ini terus melemahkan kemampuan Barat untuk membentuk front persatuan?
Pada akhirnya, Tiongkok bukan hanya sekadar isu kebijakan luar negeri. Isu ini mencerminkan perbedaan mendasar dalam kepentingan ekonomi, prioritas strategis, dan bahkan pandangan dunia antara Amerika Serikat dan Eropa. Kemampuan mereka untuk menjembatani jurang ini akan menentukan masa depan dan relevansi aliansi transatlantik di abad ke-21.
Penulis : Ahmad Haris Kurnia
Editor : Ahmad Haris Kurnia