BELEM, POSNEWS.CO.ID – Konferensi Iklim PBB ke-30 (COP30) resmi dibuka di Belem, Brasil, pada Senin (10/11/2025). Sekitar 50.000 delegasi dari lebih 190 negara berkumpul di tepi Hutan Amazon. Banyak pihak menganggap pertemuan ini krusial di tengah meningkatnya bencana iklim dan perpecahan geopolitik.
Para pemimpin PBB membuka KTT selama dua minggu ini. Lebih lanjut, mereka menyerukan persatuan global secara mendesak. “Pekerjaan Anda di sini bukan untuk saling bertarung. Pekerjaan Anda adalah untuk melawan krisis iklim ini, bersama-sama,” tegas Kepala Iklim PBB, Simon Stiell, dalam pidato pembukaannya.
Ancaman Gagalnya Target 1.5C
Data yang mengkhawatirkan mendasari seruan Stiell. Laporan Kesenjangan Emisi (Emissions Gap Report) 2025 terbaru dari PBB melukiskan gambaran suram.
Hingga September, kurang dari sepertiga negara anggota Perjanjian Paris yang telah menyerahkan target Kontribusi yang Ditentukan Secara Nasional (NDCs) terbaru mereka untuk 2035. Laporan tersebut memperkirakan sebuah skenario buruk. Bahkan jika semua negara memenuhi janji saat ini, pemanasan global abad ini akan mencapai antara 2,3 dan 2,5 derajat Celsius. Tentu saja, angka ini jauh melampaui batas aman 1,5C yang telah negara-negara sepakati di Paris satu dekade lalu.
“Perubahan iklim bukan lagi ancaman di masa depan. Ini adalah tragedi di masa kini,” kata Presiden Brasil, Luiz Inacio Lula da Silva. Negaranya kini menjadi tuan rumah KTT.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyerukan agar para pihak “memilih untuk menjadikan Belem sebagai titik balik.” Ia berharap ini menjadi dekade aksi iklim yang dipercepat.
Absennya AS dan Sengketa Pendanaan
Absennya delegasi tingkat tinggi dari Amerika Serikat mewarnai KTT ini. Padahal, AS adalah negara dengan emisi gas rumah kaca historis terbesar di dunia. Seorang pejabat Gedung Putih mengonfirmasi bahwa AS tidak akan mengirim pejabat tinggi. Sikap ini sejalan dengan pemerintahan Donald Trump yang kembali menarik diri dari Perjanjian Paris.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Langkah ini menuai kritik tajam. Presiden Kolombia, Gustavo Petro, mengecam absennya AS. Namun, Todd Stern, mantan utusan khusus iklim AS, justru berkomentar sinis. “Baguslah mereka tidak mengirim siapa pun. Tidak akan konstruktif jika mereka datang,” ujarnya.
Presiden COP30, Andre Correa do Lago, melihat absennya AS dari sisi lain. Ia menilai hal ini “telah membuka ruang bagi dunia untuk melihat apa yang dilakukan negara-negara berkembang.”
Selain itu, masalah pendanaan iklim menjadi fokus utama. Guterres menekankan bahwa negara-negara maju harus memimpin. Mereka harus memobilisasi $300 miliar per tahun untuk membantu negara berkembang. Ini adalah bagian dari target $1,3 triliun per tahun pada 2035 yang telah mereka sepakati di COP29 Baku.
Fokus pada Kerjasama Selatan-Selatan dan Suara Adat
Dengan absennya AS, fokus beralih ke kerja sama antar negara berkembang (South-South cooperation). Presiden Lula dari Brasil menguraikan tiga pilar aksi. Bahkan, ia mengusulkan pembentukan Dewan Iklim Global yang terkait dengan Majelis Umum PBB untuk meningkatkan akuntabilitas politik.
Brasil telah mengundang banyak negara untuk bergabung melindungi Hutan Amazon. Kontribusi China juga diharapkan menarik perhatian signifikan. Beijing telah menyerahkan NDC 2035 mereka. Hebatnya, untuk pertama kalinya, target ini mencakup semua gas rumah kaca di seluruh sektor ekonomi. Paviliun China untuk acara sampingan COP30 juga telah dibuka di Belem.
Di tengah diplomasi tingkat tinggi, para pemimpin masyarakat adat menuntut aksi nyata. “Kami ingin memastikan bahwa mereka tidak terus berjanji, tetapi mereka akan mulai melindungi,” kata Pablo Inuma Flores, seorang pemimpin adat dari Peru. “Karena kami sebagai masyarakat adat adalah yang paling menderita akibat dampak perubahan iklim ini.”
Penulis : Ahmad Haris Kurnia
Editor : Ahmad Haris Kurnia





















