JAKARTA, POSNEWS.CO.ID — Dalam dua dekade terakhir, medan perang telah mengalami revolusi senyap namun radikal. Aktor utamanya bukanlah jet tempur generasi terbaru atau tank yang lebih berat, melainkan Unmanned Aerial Vehicles (UAV), atau yang lebih populer kita kenal sebagai drone.
Awalnya, drone militer hanya berfungsi sebagai alat pengintaian mahal. Namun, kemajuan teknologi dengan cepat mengubahnya menjadi senjata pilihan dalam perang global melawan teror. Drone seperti Predator dan Reaper, yang Amerika Serikat operasikan, kini menjadi simbol efisiensi militer abad ke-21, sekaligus simbol kontroversi etis yang mendalam.
Perang Tanpa Risiko
Tidak sulit memahami mengapa militer mengadopsi teknologi drone secara masif. Keunggulan taktis yang drone tawarkan sangat transformatif:
- Pengurangan Risiko Pilot: Ini adalah keunggulan utama. Negara dapat melancarkan serangan di wilayah musuh yang paling berbahaya tanpa merisikokan nyawa satu pun pilot tempurnya.
- Pengintaian Jarak Jauh (ISR): Drone dapat mengudara selama berjam-jam, bahkan berhari-hari, di atas satu target. Akibatnya, drone memberikan data intelijen, pengawasan, dan pengintaian (ISR) secara real-time dan terus-menerus—kemampuan yang mustahil jet tempur berawak lakukan.
- Presisi Bedah: Selain itu, drone modern membawa rudal berpandu presisi (seperti Hellfire). Secara teori, ini memungkinkan militer untuk menargetkan satu individu atau kendaraan spesifik, yang seharusnya mengurangi kerusakan kolateral dibandingkan serangan bom skala besar.
Perang dari Jarak Jauh
Meskipun demikian, di balik efisiensi teknis tersebut, terdapat persimpangan dilema etis yang mengkhawatirkan:
- Dehumanisasi Perang: Ketika operator duduk ribuan mil jauhnya di pangkalan udara yang aman di Nevada, sementara ia menentukan hidup dan mati seseorang di Yaman atau Somalia, perang kehilangan elemen dasarnya: risiko timbal balik. Akibatnya, perang berubah dari konfrontasi fisik menjadi eksekusi jarak jauh.
- Risiko Salah Sasaran (Korban Sipil): Janji presisi seringkali gagal di lapangan. Data intelijen yang buruk, kesalahan identifikasi, atau “serangan tanda tangan” (menargetkan orang berdasarkan pola perilaku, bukan identitas pasti) telah menyebabkan kematian ribuan warga sipil yang tidak bersalah, termasuk dalam pesta pernikahan dan misi penyelamatan.
- Legalitas Pembunuhan Tertarget: Drone mengaburkan batas antara perang dan pembunuhan. Oleh karena itu, banyak ahli hukum internasional mempertanyakan legalitas membunuh seorang tersangka teroris (yang belum diadili) di negara yang tidak sedang dalam status perang resmi dengan negara penyerang.
Efek PlayStation
Sebuah ironi kejam dari perang drone muncul pada operatornya. Di satu sisi, media sering menyebutnya sebagai “Efek PlayStation”, di mana operator terlalu jauh secara emosional, seolah-olah hanya bermain video game.
Akan tetapi, kenyataannya jauh lebih kompleks. Operator menonton target mereka (termasuk keluarga target) selama berhari-hari sebelum menyerang. Mereka menyaksikan dampak serangan mereka dalam resolusi tinggi. Akibatnya, banyak operator melaporkan tingkat PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder) yang tinggi, setara dengan tentara di medan perang fisik, karena beban psikologis membunuh dari jarak jauh.
AI dan Senjata Otonom (LAWS)
Jika drone yang dikendalikan manusia sudah sangat kontroversial, langkah selanjutnya bisa jauh lebih mengerikan. Kemajuan Kecerdasan Buatan (AI) mendorong pengembangan Lethal Autonomous Weapons (LAWS)—atau “robot pembunuh”.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Ini adalah drone atau senjata yang mampu memilih dan menyerang target tanpa intervensi manusia dalam siklus keputusan. Tentu saja, militer melihat ini sebagai langkah logis untuk efisiensi (reaksi lebih cepat dari manusia). Namun, para kritikus dan ilmuwan (termasuk mendiang Stephen Hawking) telah memperingatkan bahwa ini membuka kotak pandora yang mengancam eksistensi manusia, di mana mesin membuat keputusan moralitas tertinggi: siapa yang hidup dan siapa yang mati.
Menimbang Efisiensi Versus Moralitas
Pada akhirnya, teknologi drone menempatkan kita di persimpangan jalan. Drone menawarkan efisiensi militer yang menggiurkan—kemampuan untuk melenyapkan musuh dengan biaya finansial dan risiko manusia yang minimal (bagi penyerang).
Akan tetapi, efisiensi itu datang dengan biaya moral yang sangat besar. Tindakan ini mengubah psikologi perang, menantang hukum internasional, dan menciptakan preseden berbahaya bagi masa depan otonomi senjata. Tantangan terbesar kita bukanlah “apakah kita bisa”, tetapi “apakah kita boleh”.
Penulis : Ahmad Haris Kurnia
Editor : Ahmad Haris Kurnia





















