JAKARTA, POSNEWS.CO.ID – Selama beberapa dekade setelah Uni Soviet runtuh, dunia seolah bergerak dalam satu orbit di bawah kepemimpinan Amerika Serikat (AS). Era ini, yang sering disebut “momen unipolar,” menunjukkan dominasi AS yang tak tertandingi dalam militer, ekonomi, dan budaya. Namun, tatanan global kini sedang bergeser secara fundamental.
Kekuatan-kekuatan baru muncul di berbagai belahan dunia. Hal ini menandakan transisi menuju tatanan dunia multipolar. Dalam sistem ini, pengaruh tidak lagi terpusat pada satu negara, melainkan terdistribusi di antara beberapa kutub kekuatan. Pertanyaannya, apakah ini berarti akhir dari dominasi Amerika?
Munculnya Kekuatan-Kekuatan Baru
Pergeseran paling signifikan datang dari kebangkitan ekonomi Tiongkok yang fenomenal. Dalam waktu kurang dari 40 tahun, Tiongkok bertransformasi dari negara berkembang menjadi raksasa ekonomi. Mereka kini menyaingi AS dalam perdagangan, teknologi, dan investasi global.
Namun, Tiongkok tidak sendirian. Kutub kekuatan lain yang turut membentuk lanskap baru ini adalah BRICS+. Aliansi yang awalnya terdiri dari Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan ini telah bertransformasi menjadi kekuatan geopolitik yang signifikan. Anggota barunya mencakup negara-negara seperti Arab Saudi, Iran, dan Ethiopia, sehingga aliansi ini mewakili porsi besar populasi dan PDB dunia. BRICS+ secara aktif mempromosikan agenda “de-dolarisasi” dan membangun institusi keuangan alternatif. Ini menjadikannya platform utama bagi negara berkembang untuk menantang tatanan yang didominasi Barat.
Analisis Konsep Multipolaritas dan Implikasinya
Dunia multipolar adalah sistem internasional tempat beberapa negara besar memiliki kapasitas militer, ekonomi, dan budaya yang sebanding. Mereka dapat memengaruhi agenda global. Sistem ini berbeda dari dunia bipolar (era Perang Dingin) atau unipolar (dominasi AS pasca-1991). Multipolaritas menciptakan dinamika yang lebih kompleks dan sulit diprediksi.
Implikasinya sangat luas. Aliansi menjadi lebih cair dan persaingan regional meningkat. Negara-negara kecil pun memiliki lebih banyak pilihan untuk bermanuver di antara kekuatan besar. Di satu sisi, ini mengurangi risiko hegemoni tunggal. Di sisi lain, potensi miskalkulasi dan konflik antar kekuatan besar juga ikut naik.
Dampak pada Stabilitas dan Lembaga Global
Kehadiran banyak kutub kekuatan secara langsung menantang efektivitas lembaga-lembaga global yang terbentuk pasca-Perang Dunia II. Lembaga-lembaga ini sebagian besar mencerminkan tatanan yang dipimpin AS. Di ranah politik, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) semakin sering lumpuh akibat veto dari anggota tetap yang kepentingannya berbeda, seperti terlihat jelas dalam konflik di Ukraina dan Gaza.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Sementara itu, di bidang ekonomi, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan Dana Moneter Internasional (IMF) menghadapi tantangan legitimasi karena dianggap kurang mewakili kekuatan ekonomi baru. Sebagai respons, muncul lembaga-lembaga alternatif seperti Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) pimpinan Tiongkok dan New Development Bank (NDB) dari BRICS. Akibatnya, stabilitas internasional menjadi lebih rapuh karena tidak ada lagi “polisi dunia” tunggal. Setiap krisis regional berpotensi menarik campur tangan dari berbagai kutub kekuatan dengan agenda yang saling bersaing.
Apakah Dunia Multipolar Berarti Lebih Adil?
Pertanyaan ini tidak memiliki jawaban sederhana. Dunia multipolar belum tentu lebih adil, tetapi membuka kemungkinan bagi tatanan yang lebih representatif. Bagi negara berkembang, era ini menawarkan kesempatan untuk tidak bergantung pada satu kekuatan tunggal. Mereka bisa memiliki suara yang lebih besar dalam urusan global.
Namun, dunia seperti ini juga menuntut diplomasi yang lebih canggih. Toleransi terhadap perbedaan juga menjadi lebih penting. Transisi ini bukanlah akhir dari pengaruh Amerika. Sebaliknya, ini adalah transformasi perannya dari hegemoni tunggal menjadi salah satu dari beberapa kekuatan utama di dunia yang lebih kompetitif.
Penulis : Ahmad Haris Kurnia
Editor : Ahmad Haris Kurnia