JAKARTA, POSNEWS.CO.ID – Kita hidup di era yang paling terkoneksi dalam sejarah peradaban manusia. Namun, secara paradoks, sebuah krisis kesehatan publik baru telah muncul secara senyap: Epidemi Kesepian.
Tentu saja, ini bukan sekadar perasaan personal atau kesedihan sementara. Sebaliknya, para ahli kesehatan masyarakat dan psikolog kini menganggap kesepian kronis sebagai ancaman serius terhadap kesejahteraan. Bahkan, mereka menyejajarkan dampak berbahayanya setara dengan merokok 15 batang sehari atau obesitas. Ironisnya, kita memiliki ribuan “teman” di media sosial, tetapi secara statistik kita merasa lebih terisolasi daripada generasi-generasi sebelumnya.
Konektivitas Tanpa Koneksi
Mengapa paradoks ini bisa terjadi? Berbagai penelitian menunjuk pada beberapa faktor pendorong di era modern:
- Media Sosial (Perbandingan Sosial): Awalnya, platform media sosial berjanji untuk menghubungkan kita. Akan tetapi, studi menunjukkan bahwa penggunaan berlebihan justru memicu “perbandingan sosial” (social comparison). Kita hanya melihat highlight reel (momen terbaik) kehidupan orang lain, lalu merasa kehidupan kita sendiri kurang memuaskan. Akibatnya, ini menciptakan perasaan iri dan terisolasi.
- Kerja Jarak Jauh (Remote Work): Selain itu, pasca-pandemi, model kerja jarak jauh menjadi norma baru. Meskipun menawarkan fleksibilitas, model ini menghilangkan interaksi sosial spontan dan ikatan komunitas yang biasanya terbentuk di lingkungan kantor.
- Urbanisasi dan Individualisme: Lebih jauh lagi, tren urbanisasi membuat jutaan orang pindah ke kota-kota besar. Di sana, mereka hidup dalam anonimitas apartemen yang individualistis. Budaya yang menekankan pencapaian individu seringkali mengorbankan waktu untuk membangun ikatan komunitas yang erat.
Serangan Senyap pada Fisik dan Mental
Efek dari kesepian kronis bukan hanya emosional; ia bersifat fisik dan mematikan. Kesepian berfungsi sebagai stresor biologis jangka panjang bagi tubuh.
- Dampak Mental: Secara mental, hubungannya sudah sangat jelas. Kesepian secara langsung berkontribusi pada peningkatan risiko depresi, kecemasan berat, dan bahkan penurunan kognitif (pikun) di usia tua.
- Dampak Fisik: Secara fisik, bahayanya lebih tersembunyi. Penelitian menemukan bahwa isolasi sosial kronis dapat merusak sistem kekebalan tubuh (imunitas). Bahkan, risiko penyakit jantung, tekanan darah tinggi, dan stroke meningkat secara signifikan pada individu yang merasa kesepian. Singkatnya, tubuh kita tidak dirancang untuk hidup dalam isolasi.
Inggris dan Jepang Menunjuk “Menteri Kesepian”
Melihat skala masalah ini, beberapa negara mulai bertindak serius seolah-olah ini adalah wabah penyakit.
Sebagai contoh, Inggris (UK) menjadi negara pertama di dunia yang menunjuk seorang “Menteri Kesepian” (Minister for Loneliness) pada tahun 2018. Pemerintah mengakui kesepian sebagai tantangan kebijakan yang sah dan mulai mendanai program-program yang menghubungkan kembali komunitas lokal.
Demikian pula, Jepang, yang menghadapi masalah hikikomori (isolasi sosial ekstrem) dan tingginya populasi lansia yang kesepian, juga menunjuk Menteri Kesepian pada tahun 2021. Mereka fokus menciptakan layanan dukungan psikologis dan menangani stigma sosial seputar isolasi.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Mendesaknya Kebutuhan “Ruang Ketiga”
Pada akhirnya, epidemi kesepian menunjukkan kepada kita bahwa koneksi digital tidak bisa menggantikan kebutuhan fundamental manusia akan koneksi tatap muka yang otentik.
Teknologi memberi kita konektivitas, tetapi tidak secara otomatis memberi kita komunitas. Solusinya mungkin terletak pada pembangunan kembali apa yang para sosiolog sebut sebagai “Ruang Ketiga” (Third Spaces).
Jika “Ruang Pertama” adalah rumah dan “Ruang Kedua” adalah kantor/sekolah (tempat kerja), maka “Ruang Ketiga” adalah tempat-tempat umum yang netral dan informal di mana orang bisa berkumpul tanpa agenda (seperti taman, perpustakaan umum, alun-alun, atau kedai kopi lokal).
Oleh karena itu, menjadi mendesak bagi kita untuk secara sadar merancang kembali kota dan lingkungan kita untuk mendorong pertemuan fisik. Sebab, inilah cara terbaik untuk melawan paradoks isolasi di dunia yang paling terkoneksi ini.
Penulis : Ahmad Haris Kurnia
Editor : Ahmad Haris Kurnia





















