Epidemi Kesepian: Paradoks Terisolasi di Dunia yang Paling Terkoneksi

Jumat, 14 November 2025 - 19:46 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ilustrasi, Epidemi Kesepian, Loneliness Epidemic, Kesehatan Mental, Isolasi Sosial, Media Sosial Kesepian, Kerja Jarak Jauh, Ruang Ketiga, Menteri Kesepian, Paradoks Koneksi. Dok: Istimewa.

Ilustrasi, Epidemi Kesepian, Loneliness Epidemic, Kesehatan Mental, Isolasi Sosial, Media Sosial Kesepian, Kerja Jarak Jauh, Ruang Ketiga, Menteri Kesepian, Paradoks Koneksi. Dok: Istimewa.

JAKARTA, POSNEWS.CO.ID – Kita hidup di era yang paling terkoneksi dalam sejarah peradaban manusia. Namun, secara paradoks, sebuah krisis kesehatan publik baru telah muncul secara senyap: Epidemi Kesepian.

Tentu saja, ini bukan sekadar perasaan personal atau kesedihan sementara. Sebaliknya, para ahli kesehatan masyarakat dan psikolog kini menganggap kesepian kronis sebagai ancaman serius terhadap kesejahteraan. Bahkan, mereka menyejajarkan dampak berbahayanya setara dengan merokok 15 batang sehari atau obesitas. Ironisnya, kita memiliki ribuan “teman” di media sosial, tetapi secara statistik kita merasa lebih terisolasi daripada generasi-generasi sebelumnya.

Konektivitas Tanpa Koneksi

Mengapa paradoks ini bisa terjadi? Berbagai penelitian menunjuk pada beberapa faktor pendorong di era modern:

  1. Media Sosial (Perbandingan Sosial): Awalnya, platform media sosial berjanji untuk menghubungkan kita. Akan tetapi, studi menunjukkan bahwa penggunaan berlebihan justru memicu “perbandingan sosial” (social comparison). Kita hanya melihat highlight reel (momen terbaik) kehidupan orang lain, lalu merasa kehidupan kita sendiri kurang memuaskan. Akibatnya, ini menciptakan perasaan iri dan terisolasi.
  2. Kerja Jarak Jauh (Remote Work): Selain itu, pasca-pandemi, model kerja jarak jauh menjadi norma baru. Meskipun menawarkan fleksibilitas, model ini menghilangkan interaksi sosial spontan dan ikatan komunitas yang biasanya terbentuk di lingkungan kantor.
  3. Urbanisasi dan Individualisme: Lebih jauh lagi, tren urbanisasi membuat jutaan orang pindah ke kota-kota besar. Di sana, mereka hidup dalam anonimitas apartemen yang individualistis. Budaya yang menekankan pencapaian individu seringkali mengorbankan waktu untuk membangun ikatan komunitas yang erat.
Baca Juga :  Epidemi Sunyi: Mengapa Generasi Z Menjadi Generasi Paling Kesepian?

Serangan Senyap pada Fisik dan Mental

Efek dari kesepian kronis bukan hanya emosional; ia bersifat fisik dan mematikan. Kesepian berfungsi sebagai stresor biologis jangka panjang bagi tubuh.

  • Dampak Mental: Secara mental, hubungannya sudah sangat jelas. Kesepian secara langsung berkontribusi pada peningkatan risiko depresi, kecemasan berat, dan bahkan penurunan kognitif (pikun) di usia tua.
  • Dampak Fisik: Secara fisik, bahayanya lebih tersembunyi. Penelitian menemukan bahwa isolasi sosial kronis dapat merusak sistem kekebalan tubuh (imunitas). Bahkan, risiko penyakit jantung, tekanan darah tinggi, dan stroke meningkat secara signifikan pada individu yang merasa kesepian. Singkatnya, tubuh kita tidak dirancang untuk hidup dalam isolasi.

Inggris dan Jepang Menunjuk “Menteri Kesepian”

Melihat skala masalah ini, beberapa negara mulai bertindak serius seolah-olah ini adalah wabah penyakit.

Sebagai contoh, Inggris (UK) menjadi negara pertama di dunia yang menunjuk seorang “Menteri Kesepian” (Minister for Loneliness) pada tahun 2018. Pemerintah mengakui kesepian sebagai tantangan kebijakan yang sah dan mulai mendanai program-program yang menghubungkan kembali komunitas lokal.

Baca Juga :  Demo Gemarak di DPR, 1.145 Polisi Disiagakan Tanpa Senjata Api

Demikian pula, Jepang, yang menghadapi masalah hikikomori (isolasi sosial ekstrem) dan tingginya populasi lansia yang kesepian, juga menunjuk Menteri Kesepian pada tahun 2021. Mereka fokus menciptakan layanan dukungan psikologis dan menangani stigma sosial seputar isolasi.

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Mendesaknya Kebutuhan “Ruang Ketiga”

Pada akhirnya, epidemi kesepian menunjukkan kepada kita bahwa koneksi digital tidak bisa menggantikan kebutuhan fundamental manusia akan koneksi tatap muka yang otentik.

Teknologi memberi kita konektivitas, tetapi tidak secara otomatis memberi kita komunitas. Solusinya mungkin terletak pada pembangunan kembali apa yang para sosiolog sebut sebagai “Ruang Ketiga” (Third Spaces).

Jika “Ruang Pertama” adalah rumah dan “Ruang Kedua” adalah kantor/sekolah (tempat kerja), maka “Ruang Ketiga” adalah tempat-tempat umum yang netral dan informal di mana orang bisa berkumpul tanpa agenda (seperti taman, perpustakaan umum, alun-alun, atau kedai kopi lokal).

Oleh karena itu, menjadi mendesak bagi kita untuk secara sadar merancang kembali kota dan lingkungan kita untuk mendorong pertemuan fisik. Sebab, inilah cara terbaik untuk melawan paradoks isolasi di dunia yang paling terkoneksi ini.

Penulis : Ahmad Haris Kurnia

Editor : Ahmad Haris Kurnia

Follow WhatsApp Channel www.posnews.co.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Banjir Jakarta Makin Meluas: 30 RT Terendam, Air Tembus 90 Cm Usai Hujan Deras
Menteri Supratman, Aturan Penyadapan Bakal Disatukan dalam Satu UU Khusus
Imigrasi Amankan WZ, Buronan Penipuan Rp 2,2 Triliunan Asal China di Batam
Suporter atau Perusuh? Membedah Psikologi Massa di Stadion
Kasus Video Porno Lisa Mariana, Model Cantik Ini Kembali Diperiksa Polisi
Banjir 50 Cm Rendam Tiga Ruas Jalan Jakarta, Lalu Lintas Lumpuh
Kampung Tanah Harapan Diresmikan di Jakut, Pemprov DKI Janji Perbaiki Fasilitas Warga
Di Balik Medali Emas: Krisis Kesehatan Mental Atlet Elite

Berita Terkait

Selasa, 18 November 2025 - 17:23 WIB

Banjir Jakarta Makin Meluas: 30 RT Terendam, Air Tembus 90 Cm Usai Hujan Deras

Selasa, 18 November 2025 - 16:31 WIB

Menteri Supratman, Aturan Penyadapan Bakal Disatukan dalam Satu UU Khusus

Selasa, 18 November 2025 - 15:59 WIB

Imigrasi Amankan WZ, Buronan Penipuan Rp 2,2 Triliunan Asal China di Batam

Selasa, 18 November 2025 - 15:53 WIB

Suporter atau Perusuh? Membedah Psikologi Massa di Stadion

Selasa, 18 November 2025 - 15:35 WIB

Kasus Video Porno Lisa Mariana, Model Cantik Ini Kembali Diperiksa Polisi

Berita Terbaru