JAKARTA, POSNEWS.CO.ID —Kita menghadapi sebuah paradoks yang mengkhawatirkan. Generasi Z—mereka yang lahir di era internet, tumbuh dengan smartphone di tangan, dan memiliki ratusan teman online—melaporkan tingkat kesepian yang lebih tinggi daripada generasi-generasi sebelumnya.
Mereka adalah generasi “paling terhubung” dalam sejarah manusia, namun mereka merasa paling terisolasi. Ini adalah epidemi sunyi yang terjadi di balik layar smartphone yang bercahaya. Apa sebenarnya yang terjadi?
Koneksi vs. Komunikasi Tulus
Faktor pertama adalah ilusi koneksi. Media sosial dan aplikasi perpesanan memberikan kuantitas interaksi yang tak terbatas, namun mengorbankan kualitas. Para ahli psikologi membedakan antara “koneksi” digital dan “komunikasi” manusiawi yang otentik.
Interaksi digital—lewat teks, likes, dan komentar—seringkali tidak melibatkan kerentanan emosional dan isyarat non-verbal yang penting dalam membangun ikatan. Koneksi yang tulus membutuhkan tatap muka, mendengarkan secara aktif, dan keberanian untuk tampil apa adanya, sesuatu yang seringkali disaring oleh filter digital.
Perbandingan Sosial dan ‘FOMO’
Faktor kedua adalah arsitektur media sosial itu sendiri. Instagram dan TikTok berfungsi sebagai highlight reel—panggung yang hanya menampilkan versi terbaik dan paling bahagia dari kehidupan orang lain.
Bagi Gen Z, yang terus-menerus terpapar “kehidupan sempurna” ini, sulit untuk tidak merasa tertinggal atau FOMO (Fear of Missing Out). Perbandingan sosial yang konstan ini menciptakan standar hidup yang tidak realistis, yang pada gilirannya menimbulkan perasaan tidak mampu, terisolasi, dan kesepian bahkan saat berada di tengah keramaian.
Erosi ‘Ruang Ketiga’
Jika rumah adalah “ruang pertama” dan sekolah/kantor adalah “ruang kedua”, maka “ruang ketiga” adalah tempat interaksi sosial informal terjadi. Ini bisa berupa taman, alun-alun, perpustakaan umum, atau pusat komunitas.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Bagi generasi sebelumnya, ruang ketiga adalah tempat mereka bertemu teman baru, bersosialisasi, dan merasa menjadi bagian dari komunitas secara spontan. Namun, urbanisasi modern dan pergeseran ke kehidupan online telah mengikis peran ruang ketiga. Tanpa tempat fisik untuk berinteraksi secara alami, banyak anak muda kehilangan kesempatan untuk membangun koneksi di dunia nyata.
Dampak pada Kesehatan Mental
Kesepian kronis ini memiliki dampak yang nyata dan berbahaya. Berbagai studi menunjukkan hubungan langsung antara kesepian dengan peningkatan drastis kasus kecemasan (anxiety) dan depresi di kalangan anak muda.
Kesepian bukan sekadar perasaan sedih; ini adalah kondisi stres kronis yang memengaruhi kesehatan fisik dan mental. Rasanya seperti ada sesuatu yang hilang, dan media sosial, alih-alih menjadi solusi, seringkali justru memperburuk perasaan hampa tersebut.
Kurangnya Kedalaman
Pada akhirnya, epidemi kesepian Generasi Z bukanlah tentang kurangnya orang untuk diajak bicara. Ini adalah tentang kurangnya kedalaman dan ketulusan dalam koneksi yang mereka miliki. Ini adalah alarm bagi kita untuk mulai membangun kembali jembatan di dunia nyata, bukan hanya menambah jumlah pengikut di dunia maya.
Penulis : Ahmad Haris Kurnia
Editor : Ahmad Haris Kurnia





















