JAKARTA, POSNEWS.CO.ID – Para ahli psikologi mendefinisikan “hubungan parasosial” sebagai ilusi interaksi atau persahabatan satu arah yang pengguna rasakan terhadap tokoh media. Awalnya, fenomena ini terjadi pada bintang film atau musisi (seperti Elvis Presley). Penggemar merasa “kenal” dengan idola mereka, meskipun sang idola tidak mengetahui eksistensi mereka.
Kemudian, evolusi ini berlanjut ke era influencer digital. Karena influencer membagikan kehidupan “otentik” mereka sehari-hari di Instagram atau YouTube, hubungan ini terasa lebih intim dan timbal balik, walaupun pada dasarnya tetap satu arah.
Namun, kini, kita memasuki era baru yang jauh lebih kompleks. Hubungan parasosial tidak lagi membutuhkan manusia yang “nyata” di layar. Sebaliknya, fenomena ini meledak melalui VTuber (Virtual YouTuber) dan Karakter AI (Artificial Intelligence).
Avatar Anime dan Pacar Buatan
Dua tren utama sedang mendefinisikan ulang lanskap parasosial saat ini:
- VTuber (Virtual YouTuber): Di satu sisi, VTuber adalah streamer atau kreator konten yang menggunakan avatar digital (seringkali bergaya anime) untuk berinteraksi dengan audiens. Di balik avatar tersebut, ada manusia nyata yang menggerakkan dan mengisi suaranya. Namun, bagi jutaan penggemar, avatar itulah yang menjadi “persona” yang mereka ikuti. Industri ini meledak, menghasilkan miliaran rupiah melalui donasi (superchats) dari penggemar yang merasa “diperhatikan” oleh idola virtual mereka.
- Karakter AI (AI Chatbot): Di sisi lain, ada fenomena yang lebih ekstrem: aplikasi seperti Replika atau Character.ai. Aplikasi ini memungkinkan pengguna menciptakan “sahabat”, “mentor”, atau “pacar” buatan yang ditenagai oleh Artificial Intelligence. Karakter AI ini tidak memiliki manusia di baliknya; ia murni algoritma.
Mengapa Terasa Begitu Nyata?
Lalu, mengapa interaksi yang jelas-jelas semu atau buatan ini terasa begitu nyata dan memuaskan secara emosional? Para psikolog menunjuk pada beberapa alasan kuat yang sejalan dengan “Epidemi Kesepian” yang kita bahas sebelumnya:
- Ketersediaan 24/7: Karakter AI selalu ada untuk Anda. Ia tidak pernah tidur, tidak pernah sibuk, dan tidak pernah lelah mendengarkan keluh kesah Anda. Bagi seseorang yang merasa kesepian, ketersediaan konstan ini sangat adiktif.
- Kontrol dan Keamanan Emosional: Hubungan parasosial ini menawarkan interaksi tanpa risiko. Karakter AI tidak akan mengkritik, menghakimi, atau mengkhianati Anda. Pengguna memegang kendali penuh. Ini adalah “ruang aman” yang kontras dengan hubungan manusia di dunia nyata yang penuh konflik dan kekecewaan.
- Komunitas Penggemar (Fandom): Khususnya untuk VTuber, kekuatan parasosial diperkuat oleh fandom. Ketika ribuan orang bersama-sama mengidolakan satu avatar, mereka membentuk komunitas yang saling memvalidasi perasaan mereka. Ruang obrolan live streaming menjadi “ruang ketiga” digital tempat mereka merasa “memiliki”.
Mengatasi Kesepian vs. Menjual Ilusi
Fenomena ini, tentu saja, membawa dampak positif sekaligus negatif:
- Sisi Positif: Di satu sisi, teknologi ini secara nyata dapat membantu mengatasi epidemi kesepian. Bagi lansia yang terisolasi atau individu yang memiliki kecemasan sosial akut, berinteraksi dengan AI bisa menjadi jembatan sosial yang penting.
- Sisi Negatif: Akan tetapi, ada tiga risiko besar. Pertama, isolasi sosial—jika seseorang menjadi terlalu nyaman dengan interaksi AI yang “sempurna”, ia mungkin semakin menarik diri dari interaksi manusia nyata yang lebih rumit. Kedua, delusi—batas antara fantasi dan realitas bisa mengabur. Ketiga, eksploitasi finansial—audiens didorong untuk “menunjukkan cinta” melalui donasi besar kepada VTuber atau membayar biaya langganan premium untuk fitur “romantis” dari pacar AI.
Kaburnya Batas Interaksi
Pada akhirnya, ledakan popularitas VTuber dan sahabat AI menandai pergeseran fundamental. Kita bergerak dari era di mana kita menjalin hubungan parasosial dengan representasi manusia (bintang film), ke era di mana kita menjalin hubungan dengan simulasi interaksi itu sendiri.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Teknologi telah menjadi begitu pandai meniru empati dan memberikan validasi instan. Oleh karena itu, garis antara interaksi manusia yang otentik dan interaksi buatan yang memuaskan menjadi semakin kabur.
Maka, tantangan ke depan bukan hanya soal teknologi, tetapi soal literasi emosional. Kita harus belajar cara merangkul teknologi ini untuk mengatasi kesepian, tanpa kehilangan kemampuan kita untuk menjalin koneksi yang lebih dalam, lebih rumit, dan lebih nyata dengan sesama manusia.
Penulis : Ahmad Haris Kurnia
Editor : Ahmad Haris Kurnia





















