JAKARTA, POSNEWS.CO.ID — Depresi Besar (The Great Depression) pada tahun 1930-an menghancurkan ekonomi global. Jutaan orang kehilangan pekerjaan, tabungan hidup menguap, dan pabrik-pabrik terdiam. Model ekonomi klasik, yang meyakini pasar akan pulih dengan sendirinya, gagal total menjelaskan kebuntuan ini.
Dari krisis inilah, dua pemikir ekonomi terbesar abad ke-20, John Maynard Keynes dan Friedrich Hayek, menawarkan dua visi yang bertentangan secara fundamental. Mereka berdebat tentang akar masalah dan solusi krisis: Apakah kita butuh penyelamat (pemerintah), atau kita harus membiarkan badai (pasar) berlalu? Perdebatan mereka masih mendefinisikan kebijakan ekonomi kita hingga hari ini.
Pemerintah sebagai Penyelamat Permintaan
John Maynard Keynes, dalam karyanya The General Theory (1936), berargumen bahwa pasar bebas tidak memiliki mekanisme koreksi otomatis yang cepat. Ia melihat ekonomi bisa terjebak dalam siklus ketakutan: bisnis dan konsumen berhenti berbelanja karena takut rugi, yang justru membuat ekonomi semakin memburuk.
Bagi Keynes, masalahnya adalah permintaan agregat (total belanja di ekonomi) yang lesu.
Solusinya? Jika sektor swasta tidak mau berbelanja, maka pemerintah harus turun tangan. Keynes menganjurkan intervensi pemerintah berskala besar. Pemerintah harus meningkatkan belanja publik (membangun jalan, jembatan, infrastruktur) dan memotong pajak untuk mendorong konsumsi, bahkan jika itu berarti menciptakan defisit anggaran (utang).
Tujuannya sederhana: menyuntikkan uang ke dalam ekonomi, menggerakkan kembali roda permintaan, memulihkan kepercayaan, dan mengurangi pengangguran.
Pasar Bebas dan Bahaya Intervensi
Friedrich Hayek, seorang tokoh dari Mazhab Austria, menentang keras ide Keynes. Hayek percaya bahwa masalahnya bukan kekurangan permintaan.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Bagi Hayek, krisis terjadi karena alokasi sumber daya yang salah (malinvestment). Ini adalah akibat dari intervensi pemerintah sebelumnya, terutama bank sentral yang mencetak terlalu banyak uang dan menetapkan suku bunga terlalu rendah. Kebijakan ini menciptakan “gelembung” ekonomi (investasi buruk) yang tidak berkelanjutan.
Resesi, menurut Hayek, adalah proses “pembersihan” yang menyakitkan namun perlu. Pasar sedang mengoreksi kesalahannya sendiri.
Intervensi pemerintah, seperti yang Keynes usulkan, hanya akan memperpanjang penyakit. Hayek memperingatkan bahwa “obat” Keynesian (belanja defisit dan cetak uang) akan mengarah pada inflasi yang tak terkendali. Lebih jauh, dalam bukunya The Road to Serfdom, ia berteori bahwa ketergantungan pada intervensi pemerintah pada akhirnya akan mengikis kebebasan individu dan mengarah pada sosialisme.
Krisis 2008 dan Pandemi
Perdebatan ini tidak pernah berakhir. Krisis Keuangan Global 2008 menghidupkan kembali pemikiran Keynesian. Pemerintah di seluruh dunia meluncurkan paket stimulus fiskal dan bailout perbankan besar-besaran untuk mencegah keruntuhan total. Pendukung Keynes melihat ini sebagai bukti bahwa intervensi cepat sangat diperlukan.
Namun, pendukung Hayek menunjuk pada bailout tersebut sebagai contoh intervensi yang menciptakan moral hazard (insentif untuk mengambil risiko) dan gagal mengatasi akar masalah utang.
Pandemi COVID-19 membawa perdebatan ini ke puncaknya. Pemerintah secara global mengadopsi kebijakan “Keynesian” paling ekstrem dalam sejarah. Mereka membagikan uang tunai langsung (BLT), memberikan pinjaman besar-besaran kepada bisnis, dan membiayai defisit anggaran yang masif.
Kini, kita menghadapi konsekuensi yang Hayek takuti: lonjakan inflasi global pasca-pandemi. Inflasi ini sebagian besar akibat dari stimulus moneter dan fiskal masif tersebut, yang kini coba bank sentral jinakkan dengan menaikkan suku bunga secara agresif—sebuah “obat” versi Hayek.
Tarian Abadi Antara Pasar dan Negara
Perdebatan Keynes vs. Hayek bukanlah tentang siapa yang 100% benar atau salah. Keduanya menawarkan lensa yang berharga.
Keynes memberi kita alat untuk bertindak cepat saat menghadapi bencana ekonomi jangka pendek dan pengangguran massal. Hayek memberi kita peringatan keras tentang arogansi perencanaan terpusat, bahaya inflasi, dan pentingnya utang jangka panjang.
Tantangan kebijakan modern bukanlah memilih satu dan membuang yang lain. Tantangannya adalah menemukan keseimbangan yang cerdas: bagaimana menggunakan intervensi Keynesian untuk menstabilkan krisis, tanpa terjerumus ke dalam bahaya jangka panjang yang Hayek prediksikan. Ini adalah tarian abadi antara pasar dan negara.
Penulis : Ahmad Haris Kurnia
Editor : Ahmad Haris Kurnia





















