JAKARTA, POSNEWS.CO.ID – Kita sering melihat atlet elite sebagai pahlawan super modern. Mereka adalah simbol kekuatan fisik dan mental yang tak terpatahkan. Akan tetapi, dalam beberapa tahun terakhir, narasi “tak terkalahkan” ini mulai retak.
Secara spesifik, dua atlet wanita terkemuka membuat langkah berani. Pertama, bintang tenis Naomi Osaka mundur dari French Open untuk melindungi kesehatan mentalnya dari media. Kemudian, pemeran senam GOAT (Greatest of All Time), Simone Biles, mundur dari beberapa final Olimpiade Tokyo. Ia mengatakan bahwa ia harus memprioritaskan keselamatan mental dan fisiknya.
Tindakan mereka membuka mata dunia terhadap kebenaran yang sering terabaikan: di balik medali emas, ada krisis kesehatan mental yang serius dan nyata.
Ekspektasi, Media Sosial, dan Identitas
Bagi atlet biasa, tekanan sudah berat. Namun, bagi atlet elite, tekanannya bersifat eksponensial dan datang dari tiga arah:
- Ekspektasi Publik: Pertama, ada ekspektasi publik yang tidak masuk akal. Media dan penggemar menuntut kemenangan di setiap kompetisi. Satu kekalahan saja bisa memicu gelombang kritik nasional.
- Cyberbullying: Kedua, era digital membawa cyberbullying. Setiap atlet kini memiliki akses langsung ke ribuan pesan kebencian di media sosial tepat setelah mereka mengalami performa buruk.
- Identitas Diri: Terakhir, dan mungkin yang paling merusak, adalah masalah identitas. Sistem melatih mereka sejak kecil bahwa nilai mereka sebagai manusia hanya terikat pada prestasi. Mereka berpikir, “Saya menang, maka saya berharga.” Akibatnya, ketika mereka gagal (atau meraih perak, bukan emas), mereka merasa sebagai individu yang gagal total.
Pelatih Kasar dan Trauma yang Diabaikan
Sayangnya, tekanan eksternal ini seringkali diperburuk oleh budaya internal olahraga itu sendiri. Banyak cabang olahraga masih menganut budaya kepelatihan “gaya lama” yang toksik.
Misalnya, pelatih yang kasar secara verbal (atau bahkan fisik) masih orang anggap wajar sebagai “cara membangun mental juara”. Selain itu, para atlet ini seringkali memulai latihan intensif sejak usia sangat dini (usia 5 atau 6 tahun). Mereka secara efektif mengorbankan masa kecil mereka demi medali.
Oleh karena itu, sistem sering mengabaikan trauma. Sistem mengajarkan atlet untuk “diam dan terus berlatih” (shut up and train) bukannya mengatasi rasa sakit fisik atau emosional. Kita melihat ini dengan jelas dalam kasus pelecehan sistemik di senam AS yang para pelatih tutupi selama bertahun-tahun.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Kehampaan Setelah Pensiun
Bahkan jika seorang atlet bertahan dari semua tekanan itu dan pensiun dengan sukses, krisis seringkali baru saja dimulai. Fenomena “depresi pasca-karier” sangat nyata.
Bayangkan, Anda mendedikasikan seluruh hidup Anda sejak usia 5 tahun untuk satu tujuan: Olimpiade. Kemudian, pada usia 30 tahun, semuanya selesai.
Para mantan atlet ini tiba-tiba kehilangan struktur harian mereka, kehilangan adrenalin kompetisi, dan yang terpenting, kehilangan identitas serta tujuan hidup mereka. Transisi ke “kehidupan normal” ini bisa sangat brutal secara psikologis.
Psikologi Setara dengan Fisik
Pada akhirnya, tindakan berani Simone Biles dan Naomi Osaka memberi kita pelajaran penting. Kita tidak bisa lagi memperlakukan atlet seperti robot gladiator yang kita rancang hanya untuk hiburan kita.
Kita telah menginvestasikan miliaran dolar untuk mendukung kesehatan fisik mereka—pelatih nutrisi, fisioterapis, dan dokter bedah terbaik. Akan tetapi, kita gagal total dalam mendukung kesehatan mental mereka.
Maka, sudah saatnya setiap organisasi olahraga menyediakan sistem pendukung psikologis yang setara dengan dukungan fisik. Kita harus menyediakan psikolog olahraga sebagai bagian standar dari tim. Sebab, tidak ada artinya memiliki tubuh terkuat di dunia jika pikiran yang mengendalikannya hancur.
Penulis : Ahmad Haris Kurnia
Editor : Ahmad Haris Kurnia





















