JAKARTA, POSNEWS.CO.ID – Rasanya, kita hidup di era yang semakin terbelah (terpolarisasi). Baik itu dalam isu politik, sosial, maupun vaksin, ruang diskusi publik terasa semakin panas dan penuh kebencian. Orang-orang tampak tidak bisa lagi berbicara satu sama lain.
Banyak yang menyalahkan politisi atau media. Namun, jika kita jujur, salah satu pendorong utama dari perpecahan ini adalah teknologi yang kita gunakan setiap hari: media sosial.
Peran Teknologi: “Echo Chamber” dan “Filter Bubble”
Akan tetapi, masalahnya bukan sekadar “media sosial”. Masalahnya terletak pada mesin di baliknya: algoritma.
Platform seperti TikTok, X (Twitter), Instagram, dan Facebook tidak menunjukkan kepada Anda gambaran dunia yang seimbang. Sebaliknya, perusahaan teknologi merancang algoritma dengan satu tujuan utama: menjaga Anda tetap online selama mungkin (untuk melihat lebih banyak iklan).
Dan cara terbaik untuk melakukan itu adalah dengan menyajikan konten yang Anda sukai atau yang membuat Anda marah. Akibatnya, algoritma menciptakan dua penjara tak terlihat:
- Gelembung Filter (Filter Bubble): Algoritma mempelajari preferensi Anda. Ia kemudian hanya menyaring dan menunjukkan informasi yang sesuai dengan pandangan Anda. Anda pun secara harfiah tidak lagi melihat konten dari “pihak seberang”.
- Ruang Gema (Echo Chamber): Ini adalah hasil dari filter bubble. Ketika Anda hanya berinteraksi dengan orang-orang yang berpandangan sama, Anda masuk ke dalam “ruang gema”. Di dalam ruang ini, semua orang saling setuju, dan opini Anda dipantulkan kembali (echo) hingga terasa seperti kebenaran absolut.
Mekanisme: Memperkuat “Confirmation Bias”
Mekanisme ini sangat berbahaya karena ia mengeksploitasi kelemahan psikologis bawaan manusia: Bias Konfirmasi (Confirmation Bias).
Pada dasarnya, otak kita memang malas. Kita cenderung mencari informasi yang mendukung apa yang sudah kita yakini, dan secara aktif menghindari data yang menantang keyakinan kita.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Media sosial memperkuat bias ini menjadi ekstrem. Jika Anda sedikit condong ke kiri, algoritma akan mendorong Anda semakin jauh ke kiri. Jika Anda sedikit condong ke kanan, ia akan mendorong Anda semakin jauh ke kanan. Maka, tidak ada lagi moderasi; yang ada hanyalah ekstremisme.
Dampak Sosial: Erosi dan Dehumanisasi
Tentu saja, dampak sosial dari fenomena ini sangat merusak fondasi demokrasi:
- Erosi Kepercayaan pada Media: Pertama, ketika feed Anda menyajikan “fakta” versi Anda sendiri, Anda mulai menganggap media arus utama (yang mencoba netral) sebagai “musuh” atau “penyebar kebohongan”.
- Dehumanisasi Kelompok “Lawan”: Kedua, karena Anda tidak pernah melihat perspektif “mereka” yang wajar, Anda mulai menganggap mereka bukan sekadar orang dengan opini berbeda. Algoritma melatih kita untuk melihat mereka sebagai “jahat”, “bodoh”, atau “tidak manusiawi”.
- Matinya Konsensus: Ketiga, jika dua kelompok hidup dalam dua realitas fakta yang sepenuhnya berbeda, bagaimana mungkin mereka bisa mencapai konsensus? Oleh karena itu, ruang diskusi publik mati. Yang tersisa hanyalah dua kubu yang saling berteriak melewati jurang digital.
Kesimpulan: Menjaga Demokrasi di Era Algoritma
Pada akhirnya, polarisasi digital yang algoritma ciptakan ini bukan hanya masalah teknologi; ini adalah ancaman eksistensial bagi demokrasi. Demokrasi bergantung pada warga negara yang memiliki pemahaman fakta dasar yang sama untuk memperdebatkan solusi.
Akan tetapi, algoritma menghancurkan fondasi fakta bersama itu. Sebaliknya, ia lebih memilih memaksimalkan engagement (interaksi) daripada mempromosikan kebenaran atau dialog.
Maka, tantangan terbesar kita bukan lagi soal bagaimana cara menggunakan media sosial. Tantangan kita adalah bagaimana bertahan hidup dari media sosial. Kita harus secara aktif mencari pandangan yang berbeda, melatih literasi media, dan menuntut transparansi serta tanggung jawab yang lebih besar dari platform-platform teknologi yang telah memonopoli ruang diskusi kita.
Penulis : Ahmad Haris Kurnia
Editor : Ahmad Haris Kurnia





















