Politik Pangan: Mengapa Negara Terobsesi Swasembada Beras?

Jumat, 7 November 2025 - 20:38 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ilustrasi, Impor beras lebih murah, tapi swasembada adalah

Ilustrasi, Impor beras lebih murah, tapi swasembada adalah "harga mati". Mengapa pemerintah rela bayar mahal untuk beras? Jawabannya bukan ekonomi, tapi politik. Dok: Istimewa.

JAKARTA, POSNEWS.CO.ID — Setiap kali terjadi perdebatan sengit tentang harga beras, dua kubu klasik akan muncul. Kubu ekonom murni akan berkata, “Impor saja! Jauh lebih murah dan efisien membeli beras dari Vietnam atau Thailand daripada memproduksinya di dalam negeri dengan biaya tinggi.”

Secara teori, mereka benar. Namun, pemerintah (siapa pun yang berkuasa) akan selalu menjawab dengan satu kata sakral: “Swasembada.”

Mengapa negara, terutama Indonesia, begitu terobsesi dengan swasembada beras, bahkan jika itu berarti harus mengeluarkan biaya produksi yang lebih mahal? Jawabannya sederhana: beras bukanlah sekadar komoditas dagang. Faktanya, beras adalah komoditas politik paling strategis.

Komoditas Strategis

Dalam kalkulasi politik, efisiensi ekonomi seringkali kalah penting dibanding stabilitas. Pangan, dan terutama beras di Indonesia, adalah inti dari stabilitas itu sendiri. Oleh karena itu, ada dua alasan utama mengapa swasembada menjadi obsesi abadi.

Kerentanan Geopolitik

Alasan pertama adalah keamanan nasional. Para pemimpin negara memahami risiko besar dari ketergantungan pangan pada negara lain.

Baca Juga :  Jejak Rempah: Mengubah Peta, Merusak Dunia

Bayangkan skenario ini: 70% kebutuhan beras Indonesia negara impor dari Vietnam. Lalu, terjadi konflik geopolitik di Laut Cina Selatan, atau Vietnam sendiri mengalami gagal panen katastrofal akibat perubahan iklim. Akibatnya, keran impor ditutup. Apa yang akan terjadi di Indonesia?

Dalam sekejap, negara akan lumpuh. Ketergantungan pangan adalah bentuk kerentanan geopolitik. Negara yang tidak bisa memberi makan rakyatnya sendiri dapat negara lain “sandera” kapan saja. Maka dari itu, memproduksi pangan sendiri (swasembada) adalah bagian dari kedaulatan dan pertahanan negara.

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Perut Rakyat

Alasan kedua, dan mungkin yang paling mendesak, adalah stabilitas sosial-politik internal. Dalam sejarah Indonesia, gejolak sosial terbesar dan kejatuhan rezim seringkali berawal dari satu hal: harga kebutuhan pokok, terutama beras.

Kenaikan harga beras yang tak terkendali bukanlah sekadar angka inflasi di laporan bank sentral; itu adalah “api” di tingkat akar rumput. Bagi pemerintah, menjaga harga beras tetap stabil dan terjangkau adalah prioritas nomor satu untuk menjaga ketertiban sosial.

Baca Juga :  Perang Hibrida: Ketika Medan Tempur Tidak Lagi Terlihat

Jika pasokan bergantung pada impor, pemerintah akan kesulitan mengontrol harga saat terjadi fluktuasi di pasar global. Sebaliknya, dengan swasembada (atau setidaknya stok cadangan nasional yang kuat dari produksi dalam negeri), pemerintah memegang kendali atas pasokan. Pada intinya, kontrol atas pasokan beras adalah inti dari stabilitas politik.

Biaya Asuransi Stabilitas

Pada akhirnya, perdebatan impor vs. swasembada bukanlah perdebatan murni antara ekonom dan menteri pertanian. Sebaliknya, ini adalah pertarungan antara logika efisiensi ekonomi dan logika keamanan politik.

Mengejar swasembada dengan biaya mahal adalah pilihan sadar yang pemerintah ambil. Pemerintah menganggap biaya mahal itu sebagai “premi asuransi” yang harus dibayar untuk membeli sesuatu yang jauh lebih berharga daripada efisiensi: stabilitas sosial dan kedaulatan nasional.

Penulis : Ahmad Haris Kurnia

Editor : Ahmad Haris Kurnia

Follow WhatsApp Channel www.posnews.co.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Rahasia Panjang Umur Karier LeBron James dan CR7
Doping Genetik: Batas Baru Kecurangan yang Tak Terdeteksi
Banjir Jakarta Makin Meluas: 30 RT Terendam, Air Tembus 90 Cm Usai Hujan Deras
Menteri Supratman, Aturan Penyadapan Bakal Disatukan dalam Satu UU Khusus
Imigrasi Amankan WZ, Buronan Penipuan Rp 2,2 Triliunan Asal China di Batam
Suporter atau Perusuh? Membedah Psikologi Massa di Stadion
Kasus Video Porno Lisa Mariana, Model Cantik Ini Kembali Diperiksa Polisi
Banjir 50 Cm Rendam Tiga Ruas Jalan Jakarta, Lalu Lintas Lumpuh

Berita Terkait

Selasa, 18 November 2025 - 19:26 WIB

Rahasia Panjang Umur Karier LeBron James dan CR7

Selasa, 18 November 2025 - 19:15 WIB

Doping Genetik: Batas Baru Kecurangan yang Tak Terdeteksi

Selasa, 18 November 2025 - 17:23 WIB

Banjir Jakarta Makin Meluas: 30 RT Terendam, Air Tembus 90 Cm Usai Hujan Deras

Selasa, 18 November 2025 - 16:31 WIB

Menteri Supratman, Aturan Penyadapan Bakal Disatukan dalam Satu UU Khusus

Selasa, 18 November 2025 - 15:59 WIB

Imigrasi Amankan WZ, Buronan Penipuan Rp 2,2 Triliunan Asal China di Batam

Berita Terbaru

Ilustrasi, LeBron James dan CR7 masih mendominasi di usia 40-an. Rahasianya bukan hanya latihan keras, tapi sains pemulihan (recovery) yang ekstrem. Dok: Istimewa.

SPORT

Rahasia Panjang Umur Karier LeBron James dan CR7

Selasa, 18 Nov 2025 - 19:26 WIB