JAKARTA, POSNEWS.CO.ID — Setiap kali terjadi perdebatan sengit tentang harga beras, dua kubu klasik akan muncul. Kubu ekonom murni akan berkata, “Impor saja! Jauh lebih murah dan efisien membeli beras dari Vietnam atau Thailand daripada memproduksinya di dalam negeri dengan biaya tinggi.”
Secara teori, mereka benar. Namun, pemerintah (siapa pun yang berkuasa) akan selalu menjawab dengan satu kata sakral: “Swasembada.”
Mengapa negara, terutama Indonesia, begitu terobsesi dengan swasembada beras, bahkan jika itu berarti harus mengeluarkan biaya produksi yang lebih mahal? Jawabannya sederhana: beras bukanlah sekadar komoditas dagang. Faktanya, beras adalah komoditas politik paling strategis.
Komoditas Strategis
Dalam kalkulasi politik, efisiensi ekonomi seringkali kalah penting dibanding stabilitas. Pangan, dan terutama beras di Indonesia, adalah inti dari stabilitas itu sendiri. Oleh karena itu, ada dua alasan utama mengapa swasembada menjadi obsesi abadi.
Kerentanan Geopolitik
Alasan pertama adalah keamanan nasional. Para pemimpin negara memahami risiko besar dari ketergantungan pangan pada negara lain.
Bayangkan skenario ini: 70% kebutuhan beras Indonesia negara impor dari Vietnam. Lalu, terjadi konflik geopolitik di Laut Cina Selatan, atau Vietnam sendiri mengalami gagal panen katastrofal akibat perubahan iklim. Akibatnya, keran impor ditutup. Apa yang akan terjadi di Indonesia?
Dalam sekejap, negara akan lumpuh. Ketergantungan pangan adalah bentuk kerentanan geopolitik. Negara yang tidak bisa memberi makan rakyatnya sendiri dapat negara lain “sandera” kapan saja. Maka dari itu, memproduksi pangan sendiri (swasembada) adalah bagian dari kedaulatan dan pertahanan negara.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Perut Rakyat
Alasan kedua, dan mungkin yang paling mendesak, adalah stabilitas sosial-politik internal. Dalam sejarah Indonesia, gejolak sosial terbesar dan kejatuhan rezim seringkali berawal dari satu hal: harga kebutuhan pokok, terutama beras.
Kenaikan harga beras yang tak terkendali bukanlah sekadar angka inflasi di laporan bank sentral; itu adalah “api” di tingkat akar rumput. Bagi pemerintah, menjaga harga beras tetap stabil dan terjangkau adalah prioritas nomor satu untuk menjaga ketertiban sosial.
Jika pasokan bergantung pada impor, pemerintah akan kesulitan mengontrol harga saat terjadi fluktuasi di pasar global. Sebaliknya, dengan swasembada (atau setidaknya stok cadangan nasional yang kuat dari produksi dalam negeri), pemerintah memegang kendali atas pasokan. Pada intinya, kontrol atas pasokan beras adalah inti dari stabilitas politik.
Biaya Asuransi Stabilitas
Pada akhirnya, perdebatan impor vs. swasembada bukanlah perdebatan murni antara ekonom dan menteri pertanian. Sebaliknya, ini adalah pertarungan antara logika efisiensi ekonomi dan logika keamanan politik.
Mengejar swasembada dengan biaya mahal adalah pilihan sadar yang pemerintah ambil. Pemerintah menganggap biaya mahal itu sebagai “premi asuransi” yang harus dibayar untuk membeli sesuatu yang jauh lebih berharga daripada efisiensi: stabilitas sosial dan kedaulatan nasional.
Penulis : Ahmad Haris Kurnia
Editor : Ahmad Haris Kurnia





















