JAKARTA, POSNEWS.CO.ID – Sebuah frasa baru telah mendominasi percakapan tentang dunia kerja baru-baru ini: “Quiet Quitting” (Berhenti dalam Senyap).
Namun, nama ini sedikit keliru. Quiet quitting bukan berarti karyawan benar-benar mengajukan surat pengunduran diri. Sebaliknya, fenomena ini menggambarkan pergeseran mentalitas fundamental. Para pekerja menolak ideologi “hustle culture” yang menuntut mereka bekerja melampaui jam kerja normal.
Secara praktis, pelaku quiet quitting tetap melakukan pekerjaan mereka. Akan tetapi, mereka hanya mengerjakan apa yang tertera dalam job description mereka. Lebih lanjut, mereka datang tepat waktu, pulang tepat waktu, menolak lembur tanpa bayaran, dan berhenti melakukan tugas-tugas ekstra “demi perusahaan” yang sebelumnya sering mereka terima begitu saja.
Mengapa Muncul Sekarang?
Tentu saja, fenomena ini tidak muncul dari ruang hampa. Ia meledak pasca-pandemi karena beberapa alasan kuat:
- Burnout Massal: Akibat pandemi, batas antara kehidupan pribadi dan pekerjaan mengabur total, terutama bagi pekerja remote. Hal ini memicu kelelahan mental (burnout) dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya.
- Kekecewaan Generasional: Gen Z dan Milenial menyaksikan generasi sebelumnya (orang tua mereka) mengorbankan hidup mereka untuk perusahaan, namun seringkali berakhir dengan PHK atau pensiun yang tidak seberapa. Mereka pun kehilangan kepercayaan pada janji loyalitas perusahaan.
- Penolakan Hustle Culture: Kini, ada penolakan yang semakin vokal terhadap narasi “gila kerja” atau hustle culture. Para pekerja muda mulai mempertanyakan: “Mengapa saya harus mengorbankan kesehatan mental saya untuk pekerjaan yang bahkan tidak membayar saya dengan layak?”
- Fokus pada Work-Life Balance: Pada akhirnya, prioritas telah bergeser. Banyak pekerja sekarang lebih menghargai work-life balance dan kesehatan mental daripada sekadar mengejar promosi dengan mengorbankan segalanya.
Malas, Melawan, atau Sehat?
Fenomena ini menimbulkan perdebatan sengit tentang etos kerja:
- Pandangan Manajer (Kemalasan): Di satu sisi, beberapa manajer generasi lama melihat quiet quitting sebagai bentuk kemalasan, kurangnya ambisi, atau bahkan pembangkangan. Mereka terbiasa dengan karyawan yang “memberikan 110%”.
- Pandangan Pekerja (Perlawanan): Di sisi lain, bagi banyak pekerja, ini adalah satu-satunya bentuk perlawanan yang mereka miliki. Ketika gaji tidak naik sesuai inflasi dan beban kerja terus bertambah, maka mengurangi “upaya ekstra” adalah cara untuk mengambil kembali kendali.
- Pandangan Psikolog (Batas Sehat): Namun, banyak ahli melihat fenomena ini sebagai langkah yang sangat sehat. Ini bukanlah soal “bekerja lebih sedikit”, melainkan soal “bekerja sesuai bayaran”. Ini adalah penetapan batas (boundaries) yang tegas terhadap eksploitasi kerja tak terbayar.
Pergeseran Ekspektasi Kerja
Tentu saja, tren quiet quitting memberikan dampak nyata bagi perusahaan. Mungkin ada penurunan produktivitas jangka pendek, terutama jika perusahaan sebelumnya sangat bergantung pada kerja lembur gratis dari karyawannya.
Akan tetapi, dampak terbesarnya adalah pergeseran ekspektasi. Kini, perusahaan tidak bisa lagi mengandalkan “loyalitas buta” atau memotivasi karyawan dengan iming-iming pizza party.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Perusahaan harus menawarkan proposisi nilai yang jelas:
- Gaji yang adil dan kompetitif.
- Job description yang jelas dan beban kerja yang realistis.
- Penghargaan yang tulus terhadap waktu pribadi karyawan (tidak ada email/WA di luar jam kerja).
- Jalur karier yang transparan.
Adaptasi di Era Baru Etos Kerja
Pada akhirnya, quiet quitting bukanlah tren sesaat. Ia menandakan evolusi mendalam dalam etos kerja dan definisi ulang “kontrak sosial” antara karyawan dan pemberi kerja, terutama oleh Gen Z.
Mereka tidak anti-kerja; mereka anti-eksploitasi dan anti-burnout.
Maka, perusahaan yang mengabaikan sinyal ini dan terus mendorong hustle culture akan kesulitan menarik dan mempertahankan talenta terbaik. Sebaliknya, perusahaan yang mendengarkan dan beradaptasi—dengan membangun lingkungan kerja yang lebih sehat, transparan, dan menghargai batas—adalah perusahaan yang akan berkembang di era baru ini.
Penulis : Ahmad Haris Kurnia
Editor : Ahmad Haris Kurnia





















