JAKARTA, POSNEWS.CO.ID – Wacana penyederhanaan nilai mata uang atau redenominasi rupiah kembali menjadi perbincangan publik. Hal ini setelah rencana tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2025 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2025-2029.
Aturan yang Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa teken itu mencantumkan rencana penyusunan RUU Redenominasi (Perubahan Harga Rupiah). Secara konsep, kebijakan ini akan mengubah Rp1.000 menjadi Rp1.
Meskipun demikian, sejumlah pejabat tinggi negara, mulai dari Bank Indonesia (BI), Menteri Keuangan, hingga Istana, kompak menyatakan bahwa realisasi kebijakan tersebut masih sangat jauh dan bukan prioritas untuk tahun depan.
BI dan Istana: “Tidak Tahun Depan, Masih Jauh”
Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, menegaskan bahwa BI saat ini belum fokus pada redenominasi. Menurutnya, prioritas bank sentral adalah menjaga stabilitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
“Kami pada saat ini lebih fokus menjaga stabilitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Apalagi redenominasi itu memerlukan timing dan persiapan yang lebih lama,” ujar Perry saat rapat dengan Komisi XI DPR, Rabu (12/11/2025).
Senada dengan BI, Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan rencana itu tidak akan berjalan tahun depan. Bahkan, ia meluruskan bahwa otoritas pelaksana adalah bank sentral, bukan Kemenkeu.
“Redenom [redenominasi] itu kebijakan bank sentral… [realisasi] enggak sekarang, enggak tahun depan,” ungkap Purbaya, Senin (10/11/2025). “Jangan gue yang digebukin, gue digebukin terus,” kelakarnya.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Sementara itu, pihak Istana melalui Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi turut menegaskan hal yang sama. “Belum lah, masih jauh,” kata Prasetyo di Kompleks Istana, Senin.
Pengamat: Ini Bukan Sanering, Jangan Salah Paham
Di tengah kehebohan ini, Pengamat Ekonomi Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Y Sri Susilo, mengingatkan masyarakat untuk tidak salah paham antara redenominasi dan sanering.
Menurut Sekretaris ISEI Cabang Yogyakarta ini, redenominasi hanyalah penyederhanaan pencatatan (menghilangkan nol) tanpa mengurangi nilai tukar atau daya beli.
“Redenominasi hanya penyederhanaan saja, tidak mengubah nilai. Misal belinya Rp100.000, ya bayarnya tetap Rp100.000, hanya nolnya saja yang dihilangkan,” katanya, Rabu (12/11/2025).
Ia menegaskan ini sangat berbeda dengan sanering (pemotongan uang) yang pernah terjadi pada 1965-1966. Saat itu, sanering dilakukan karena inflasi sangat tinggi dan menggerus nilai uang.
Susilo menambahkan, tujuan redenominasi adalah efisiensi pelaporan keuangan yang saat ini terlalu banyak angka nol. Bahkan, ia menilai praktik ini secara tidak resmi sudah berjalan di masyarakat.
“Praktiknya sebenarnya sudah meredenominasikan sendiri. Misalnya ada keterangan dalam jutaan, dalam miliar, atau misal 50K (untuk Rp50.000),” lanjutnya.
Tantangan DPR: Proses Panjang dan Risiko Inflasi
Anggota Komisi XI DPR menyoroti proses yang tidak mudah. Ketua Komisi XI, Mukhamad Misbhakun, menjelaskan prosesnya memakan waktu panjang.
Misalnya, jika RUU selesai dibahas pada 2026 (PMK 70/2025 menargetkan RUU selesai 2027), masih butuh waktu sosialisasi (2027) dan transisi (2028), sehingga kemungkinan baru berlaku penuh pada 2029.
Akan tetapi, tantangan terbesarnya adalah risiko inflasi jika sosialisasi gagal. Anggota Komisi XI DPR, Eric Hermawan, mewanti-wanti potensi pembulatan harga ke atas oleh pedagang ritel.
“Redenominasi ini kan pembulatan Rp 1.000. Misal harga Aqua Rp 1.200, maksimal akan dijual Rp 1. Rp 200-nya kemana? Maka akan dinaikkan Rp 2, sehingga harga-harga naik. Terjadi inflasi. Ini jadi masalah,” ujar Eric.
Oleh karena itu, DPR mendorong persiapan matang dan sosialisasi masif. Meskipun begitu, Misbhakun menyebut prasyarat ekonomi (pertumbuhan 5%, inflasi 2%) cenderung terpenuhi. Namun, keputusan akhir tetap ada di tangan Presiden Prabowo Subianto.
Penulis : Ahmad Haris Kurnia
Editor : Ahmad Haris Kurnia





















