JAKARTA, POSNEWS.CO.ID – Dalam satu dekade terakhir, kita menyaksikan pergeseran besar dalam dunia olahraga. Tiba-tiba, negara-negara yang jarang terdengar di peta olahraga muncul sebagai kekuatan finansial dominan. Akan tetapi, kritikus menyebut fenomena ini dengan istilah yang sinis: “Sportswashing”.
Pada dasarnya, sportswashing adalah sebuah praktik. Dalam praktik ini, sebuah negara, rezim, atau korporasi menggunakan kemewahan dan popularitas olahraga tingkat tinggi untuk mengalihkan perhatian publik. Tujuannya, agar publik melupakan isu-isu negatif seperti pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), korupsi, atau kerusakan lingkungan yang mereka lakukan.
Sebaliknya, mereka ingin membangun citra baru yang positif, modern, dan terbuka.
Membeli Klub dan Menjadi Tuan Rumah
Secara umum, ada dua mekanisme utama yang para pelaku sportswashing gunakan untuk mencapai tujuan mereka:
- Membeli Prestise (Akuisisi Klub): Cara paling “murah” adalah membeli tim olahraga yang sudah memiliki sejarah dan basis penggemar global. Contoh paling jelas adalah akuisisi Manchester City oleh Uni Emirat Arab, Paris Saint-Germain (PSG) oleh Qatar, atau Newcastle United oleh Dana Investasi Publik (PIF) Arab Saudi. Akibatnya, ketika tim-tim ini sukses, nama negara pemilik ikut terangkat dalam citra positif kesuksesan olahraga.
- Menjadi Tuan Rumah (Event Global): Ini adalah langkah yang lebih mahal namun lebih efektif. Dengan menjadi tuan rumah event olahraga terbesar di planet ini—seperti Piala Dunia FIFA atau Olimpiade—sebuah negara secara harfiah mengundang mata seluruh dunia untuk datang. Oleh karena itu, mereka bisa mempamerkan stadion-stadion megah, infrastruktur modern, dan keramahtamahan, sambil mengontrol narasi media selama event berlangsung.
Qatar, Saudi, dan Rusia
Beberapa negara telah menjalankan strategi ini dengan sangat agresif:
- Qatar (Piala Dunia 2022): Meskipun menghadapi kritik keras selama satu dekade terkait isu kematian pekerja migran dan hak-hak LGBTQ+, pada akhirnya, dunia lebih banyak mengingat final dramatis Messi vs. Mbappe daripada catatan HAM Qatar. Ini adalah contoh kesuksesan sportswashing.
- Arab Saudi (LIV Golf & Liga Pro): Contoh terbaru adalah Arab Saudi. Negara ini secara agresif menggunakan dana kekayaan negaranya (PIF) untuk mengguncang dunia golf (dengan menciptakan LIV Golf) dan membajak bintang-bintang sepak bola (seperti Cristiano Ronaldo, Neymar, dan Benzema) agar mau bermain di Liga Pro Saudi. Tentu saja, langkah ini dilihat sebagai upaya mengalihkan perhatian global dari citra negatif, termasuk kasus pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi.
- Rusia (Olimpiade Sochi 2014): Demikian pula, Presiden Vladimir Putin menggunakan Olimpiade Musim Dingin Sochi 2014 sebagai panggung untuk mempresentasikan citra Rusia yang “kuat” dan “modern”, tepat sebelum ia menganeksasi Krimea.
Atlet dan Penggemar yang Terjepit
Fenomena ini, tentu saja, menciptakan dilema etis yang pelik bagi para pemangku kepentingan utama olahraga: atlet dan penggemar.
- Bagi Atlet: Mereka menghadapi pilihan sulit. Apakah mereka harus menolak kontrak bernilai triliunan rupiah (seperti yang beberapa pegolf lakukan pada LIV Golf) atas nama prinsip moral? Atau, apakah mereka harus menerimanya dengan alasan “ini hanya olahraga” atau “karier atlet itu singkat”?
- Bagi Penggemar: Penggemar juga merasa terjepit. Di satu sisi, mereka hanya ingin menikmati pertandingan dan mendukung tim kesayangan mereka (yang kini memiliki dana tak terbatas). Namun di sisi lain, banyak yang sadar bahwa kegembiraan dan uang yang mereka habiskan secara tidak langsung ikut membersihkan citra rezim yang bermasalah.
Efektivitas Diplomasi Olahraga
Pada akhirnya, sportswashing menunjukkan betapa efektifnya olahraga sebagai alat soft power dan geopolitik di era modern. Ia jauh lebih efektif daripada lobi politik tradisional.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebab, olahraga berbicara bahasa yang universal: gairah, drama, heroisme, dan hiburan. Meskipun para aktivis dan jurnalis terus berteriak tentang isu-isu HAM, namun faktanya adalah: ketika gol indah tercipta atau rekor terpecahkan, mayoritas penonton global cenderung melupakan isu-isu gelap yang seharusnya menjadi sorotan utama.
Penulis : Ahmad Haris Kurnia
Editor : Ahmad Haris Kurnia





















