JAKARTA, POSNEWS.CO.ID — Sebelum David Ricardo, pemikiran ekonomi (terutama dari Adam Smith) didominasi oleh Keunggulan Absolut. Teorinya sederhana: jika Negara A bisa membuat kain lebih murah dari Negara B, dan Negara B bisa membuat anggur lebih murah dari A, maka A harus fokus pada kain dan B pada anggur, lalu mereka berdagang.
Namun, David Ricardo pada awal abad ke-19 mengajukan pertanyaan yang lebih cerdas: Bagaimana jika satu negara (misalnya, Negara A) lebih hebat dalam memproduksi kedua barang tersebut? Haruskah mereka menutup diri dan tidak berdagang?
Di sinilah Keunggulan Komparatif (Comparative Advantage) lahir. Ricardo berargumen bahwa perdagangan tetap menguntungkan, bahkan jika satu negara memiliki keunggulan absolut dalam segala hal. Yang penting bukanlah siapa yang “paling” efisien secara absolut, melainkan siapa yang “paling” efisien secara relatif.
Mekanisme: Ajaibnya Spesialisasi dan Efisiensi
Inti dari keunggulan komparatif adalah biaya peluang (opportunity cost).
Bayangkan Portugal bisa memproduksi anggur dan kain dengan lebih sedikit tenaga kerja daripada Inggris. Namun, Portugal jauh lebih efisien dalam membuat anggur daripada membuat kain. Sementara itu, Inggris tidak terlalu buruk dalam membuat kain.
- Bagi Portugal: Setiap jam yang dihabiskan untuk membuat kain adalah jam yang hilang dari membuat anggur (di mana mereka sangat unggul). Biaya peluangnya tinggi.
- Bagi Inggris: Biaya peluang untuk membuat kain (dibandingkan membuat anggur) lebih rendah.
Teori Ricardo menyarankan agar Portugal mencurahkan seluruh sumber dayanya untuk memproduksi apa yang paling efisien mereka lakukan (anggur), dan Inggris melakukan hal yang sama untuk biaya peluang terendah mereka (kain).
Ketika keduanya berspesialisasi dan berdagang, total produksi global (jumlah kain dan anggur) meningkat. Kedua negara tersebut, secara teori, dapat mengonsumsi lebih banyak barang daripada jika mereka memproduksi semuanya sendirian. Ini adalah keajaiban efisiensi global.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Kritik dan Realita: Biaya Tersembunyi Perdagangan
Teori ini sangat elegan, namun di dunia nyata, implementasinya menimbulkan banyak masalah:
- Dampak Distribusi Pendapatan: Perdagangan bebas tidak menguntungkan semua orang di dalam negara. Saat Inggris beralih membuat kain, para petani anggur di Inggris akan kehilangan pekerjaan. Di Portugal, pembuat kain lokal akan bangkrut. Teori ini menciptakan “pemenang” (konsumen, industri ekspor) dan “pecundang” (industri yang kalah bersaing).
- Infant Industry Argument (Argumen Industri Bayi): Negara berkembang berargumen bahwa mereka tidak bisa langsung bersaing dengan industri yang sudah mapan. Mereka butuh proteksionisme (tarif, kuota) untuk sementara waktu agar industri “bayi” mereka bisa tumbuh dan belajar menjadi efisien, sebelum “dilepas” ke persaingan global.
- Proteksionisme Modern: Negara-negara maju pun sering melindungi industri mereka karena alasan politik, keamanan nasional (misalnya, semikonduktor, pangan), atau standar tenaga kerja/lingkungan.
Globalisasi Saat Ini: Rantai Pasok dan Tantangannya
Dalam beberapa dekade terakhir, teori keunggulan komparatif telah berevolusi menjadi Rantai Pasok Global (Global Supply Chains). Perusahaan kini memecah produksi ke level komponen.
Sebuah iPhone mungkin dirancang di AS (keunggulan komparatif di R&D), menggunakan chip dari Taiwan (keunggulan di manufaktur presisi tinggi), dan dirakit di Tiongkok atau Vietnam (keunggulan di tenaga kerja perakitan).
Namun, pandemi COVID-19 dan ketegangan geopolitik mengungkap kerentanan rantai pasok yang super-efisien ini. Ketergantungan pada satu negara untuk komponen vital menciptakan risiko besar. Kini, dunia sedang bergerak dari efisiensi murni menuju “ketahanan” (resilience), bahkan jika itu berarti sedikit lebih mahal.
Kesimpulan: Manfaat Mendasar dan Biaya Adaptasi
Keunggulan komparatif tetap menjadi teori dasar yang menjelaskan mengapa perdagangan internasional itu bermanfaat. Ia menunjukkan bahwa spesialisasi menciptakan kekayaan global yang lebih besar.
Namun, teori ini tidak menjelaskan bagaimana kekayaan itu didistribusikan. Realitasnya, perdagangan bebas memang menciptakan efisiensi, tetapi juga menciptakan disrupsi.
Tantangan bagi setiap negara bukanlah menolak perdagangan, melainkan mengelola biayanya. Yaitu, bagaimana memanfaatkan keuntungan dari spesialisasi global, sambil pada saat yang sama membantu para pekerja dan industri yang “kalah” dalam proses transisi tersebut.
Penulis : Ahmad Haris Kurnia
Editor : Ahmad Haris Kurnia





















