JAKARTA, POSNEWS.CO.ID — Pernahkah Anda melihat unggahan Instagram seseorang yang terlihat begitu sempurna liburan impian, pencapaian karier, wajah tanpa cela—lalu bertanya-tanya apakah kehidupan mereka benar-benar seperti itu? Kemungkinan besar, tidak. Ada perbedaan drastis antara persona yang kita tampilkan secara online dan kenyataan yang kita jalani.
Fenomena kurasi citra diri ini bukanlah hal baru, namun media sosial telah memberinya panggung global. Sosiolog Erving Goffman, jauh sebelum era internet, telah menyediakan kerangka kerja yang sempurna untuk memahaminya: Teori Dramaturgi.
Di Balik Panggung
Dalam bukunya The Presentation of Self in Everyday Life (1956), Goffman berpendapat bahwa kehidupan sosial adalah sebuah pertunjukan teater. Kita semua adalah aktor yang terus-menerus tampil di hadapan audiens. Kunci dari teorinya adalah pemisahan antara dua ruang: “Panggung Depan” (Front Stage) dan “Panggung Belakang” (Back Stage).
Di front stage, kita tampil. Kita sadar sedang ditonton, jadi kita mengenakan “kostum” (pakaian), menggunakan “properti” (barang), dan mengikuti “naskah” (norma sosial) untuk menciptakan impresi tertentu. Sebaliknya, back stage adalah ruang pribadi kita. Di sinilah kita bisa “turun panggung”, melepaskan topeng, dan menjadi diri sendiri tanpa takut dihakimi.
Panggung Media Sosial
Media sosial, tanpa diragukan lagi, adalah front stage terbesar dan termegah di era modern. Feed Instagram, profil LinkedIn, atau ‘vlog’ YouTube adalah panggung depan kita yang telah kita kurasi dengan sangat hati-hati.
Filter, angle foto, dan caption yang inspiratif adalah kostum dan naskah kita. Tujuannya? “Manajemen Impresi” (Impression Management). Kita ingin audiens (followers) melihat kita sebagai pribadi yang sukses, bahagia, atau cerdas.
Sementara itu, back stage kita bergeser ke ruang yang lebih privat. Fitur “Close Friends” di Instagram, obrolan grup pribadi (seperti WhatsApp), atau bahkan Finsta (Fake Instagram) adalah tempat kita mengeluh, berantakan, dan menunjukkan sisi yang tidak “Instagrammable”.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Kelelahan Menjadi Sempurna
Pertunjukan yang konstan ini memiliki konsekuensi psikologis. Tuntutan untuk terus-menerus mengelola impresi menciptakan apa yang disebut Goffman sebagai “kecemasan dramaturgis”. Kita menjadi lelah karena harus selalu tampil sempurna.
Akibatnya, muncul kerinduan kolektif akan “otentisitas”. Fenomena “photo dump” yang acak atau unggahan “tanpa filter” sebenarnya adalah upaya untuk membawa sedikit “panggung belakang” ke “panggung depan”—meskipun, ironisnya, otentisitas itu sendiri seringkali menjadi bentuk pertunjukan yang baru. Kita mungkin adalah lakon, tetapi penting untuk mengingat bahwa kita juga berhak untuk istirahat di balik layar.
Penulis : Ahmad Haris Kurnia
Editor : Ahmad Haris Kurnia





















