JAKARTA, POSNEWS.CO.ID — Bayangkan sebuah skenario rapat: seorang staf junior mengajukan ide inovatif, namun idenya berlalu begitu saja. Lima menit kemudian, seorang manajer senior mengutarakan poin yang sama persis dengan bahasa yang lebih percaya diri, dan seluruh ruangan mengangguk setuju.
Ini bukan kebetulan; ini adalah pertunjukan kekuasaan. Mengapa kita secara kolektif lebih menghargai pendapat dari orang dengan jabatan tinggi, aksen tertentu, atau lulusan universitas ternama, sementara mengabaikan yang lain? Jawabannya terletak pada konsep kekerasan yang tak kasat mata: Kekerasan Simbolik.
Teori di Balik Dominasi Halus
Sosiolog Prancis, Pierre Bourdieu, memperkenalkan konsep “Kekerasan Simbolik” (Symbolic Violence). Ini bukanlah kekerasan fisik, melainkan dominasi yang terjadi secara halus dan seringkali tidak kita sadari.
Dominasi ini bekerja melalui penerimaan kita terhadap norma, struktur, dan hierarki sosial sebagai sesuatu yang “wajar” atau “alami”. Dalam sistem ini, mereka yang didominasi (misalnya, karyawan junior) tanpa sadar menyetujui dominasi tersebut karena mereka telah menerima aturan main yang struktur kekuasaan tetapkan (misalnya, “manajer memang lebih tahu”).
Bahasa Tubuh dan Gelar sebagai Senjata
Di ruang rapat, kekerasan simbolik beroperasi melalui apa yang Bourdieu sebut sebagai “modal”. Gelar (Manajer, Direktur), almamater (universitas ternama), cara berpakaian (setelan mahal), dan bahkan cara berbicara (aksen atau jargon korporat) adalah “Modal Simbolik”.
Ini adalah simbol-simbol yang semua orang di ruangan itu akui sebagai penanda otoritas. Bahasa tubuh—seperti duduk di kepala meja atau interupsi yang percaya diri—memperkuat kekuasaan ini. Ini adalah kekerasan halus karena tidak ada yang memaksa; kita secara sukarela tunduk pada hierarki ini karena kita telah belajar bahwa simbol-simbol tersebut lebih berharga daripada ide itu sendiri.
Melanggengkan Ketimpangan Tanpa Paksaan
Implikasi terbesar dari kekerasan simbolik adalah bagaimana dominasi ini terus mereproduksi ketimpangan, baik di tempat kerja maupun di institusi pendidikan. Dominasi ini tidak memerlukan paksaan fisik atau ancaman.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Ia bekerja melalui persetujuan diam-diam dari mereka yang didominasi. Ketika kita mengabaikan ide junior dan memuji ide senior (meskipun sama), kita mengonfirmasi kembali struktur kekuasaan. Karyawan junior belajar bahwa “tempat mereka” adalah untuk diam, dan siklus itu berlanjut. Ini adalah cara paling efisien untuk mempertahankan status quo: membuat yang tertindas berpartisipasi dalam penindasan mereka sendiri.
Penulis : Ahmad Haris Kurnia
Editor : Ahmad Haris Kurnia





















