JAKARTA, POSNEWS.CO.ID โ Lupakan mantra kerja keras tanpa henti yang dulu didewakan. Di kalangan anak muda saat ini, sebuah pergeseran fundamental sedang terjadi. Konsep work-life balance tidak lagi sekadar tentang membagi waktu antara kantor dan rumah. Kini, konsep itu berevolusi menjadi tentang mengelola energi, menjaga kesehatan mental, dan menciptakan ruang untuk hidup yang bermakna.
Fenomena ini adalah bentuk perlawanan diam-diam terhadap hustle culture. Budaya ini mengagungkan kerja gila-gilaan sebagai satu-satunya jalan menuju sukses. Bagi banyak milenial dan Gen Z, piala kesuksesan bukan lagi jabatan mentereng, melainkan ketenangan pikiran.
Mengapa Hustle Culture Ditinggalkan?
Selama bertahun-tahun, media sosial dan budaya populer mengagungkan citra profesional muda. Mereka digambarkan bekerja 80 jam seminggu, kurang tidur, dan mendedikasikan hidup untuk karier. Namun, pandemi COVID-19 menjadi titik balik. Pandemi menyadarkan banyak orang akan realitas pahit di baliknya: kelelahan (burnout), kecemasan, dan hilangnya makna hidup.
Generasi ini menyaksikan langsung bagaimana tuntutan kerja yang tidak manusiawi menguras kesehatan mental dan fisik para senior mereka. Mereka pun bertanya: Apakah ini sepadan? Jawaban semakin banyak orang adalah tidak.
Prioritas Baru: Fleksibilitas dan Kesejahteraan
Penolakan terhadap hustle culture bukan berarti menjadi pemalas. Sebaliknya, ini adalah tentang bekerja lebih cerdas, bukan lebih keras. Anak muda kini secara aktif mencari lingkungan kerja yang menawarkan:
- Fleksibilitas Lokasi dan Waktu: Kemampuan bekerja dari rumah atau di mana saja kini menjadi prioritas utama. Mereka juga menginginkan jam kerja yang fleksibel. Fleksibilitas ini memungkinkan mereka mengintegrasikan pekerjaan ke dalam hidup, bukan sebaliknya.
- Dukungan Kesehatan Mental: Perusahaan yang mendukung kesehatan mental kini jauh lebih menarik. Mereka mencari tunjangan konseling, hari libur khusus untuk kesehatan mental, dan budaya kerja yang terbuka mengenai isu kejiwaan.
- Ruang untuk Tumbuh di Luar Pekerjaan: Mereka menginginkan pekerjaan yang menghargai kehidupan pribadi mereka. Ini mencakup hobi, keluarga, dan waktu untuk beristirahat tanpa rasa bersalah.
Gaji Bukan Segalanya
Pergeseran paling signifikan terjadi dalam cara mereka memandang kompensasi. Gaji yang layak memang tetap penting, namun itu bukan lagi satu-satunya faktor penentu.
Banyak anak muda kini rela menerima gaji yang sedikit lebih rendah jika imbalannya adalah lingkungan kerja yang lebih sehat, fleksibel, dan tidak toksik. Bagi mereka, kekayaan bukan lagi soal saldo rekening. Mereka mengukurnya dari energi yang tersisa di akhir hari dan tingkat kedamaian yang mereka rasakan.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Pada akhirnya, tren ini mengirimkan sinyal kuat bagi para pemberi kerja. Perusahaan yang ingin menarik dan mempertahankan talenta terbaik harus memahami bahwa work-life balance versi baru ini bukan lagi sekadar fasilitas, melainkan sebuah kebutuhan mendasar.