JAKARTA, POSNEWS.CO.ID — Saat kita membahas perang atau keamanan global, gambaran yang muncul di kepala kita hampir selalu seragam: para jenderal (pria) menunjuk peta di ruang strategi, tentara (pria) di garis depan, dan para pemimpin negara (sebagian besar pria) berjabat tangan di meja perundingan.
Namun, ada yang hilang dari gambaran ini. Di mana perempuan? Mengapa diskusi perang jarang sekali membahas dampak spesifiknya pada perempuan dan anak-anak, yang seringkali menjadi korban utama kekerasan dan pengungsian? Teori Feminisme dalam Hubungan Internasional (HI) hadir untuk mempertanyakan kebutaan gender ini.
Politik Global yang “Buta Gender”
Secara tradisional, studi HI—baik itu Realisme maupun Liberalisme—bersifat buta gender. Mereka menganggap negara sebagai unit yang netral. Namun, Teori Feminisme membongkar asumsi ini.
Teori ini berargumen bahwa seluruh konsep yang kita gunakan untuk memahami dunia sangatlah maskulin. Aliran pemikiran ini mengartikan konsep kekuatan (power) sebagai dominasi, agresi, dan kapasitas militer (sifat yang diasosiasikan dengan maskulinitas). Selain itu, konsep keamanan (security) didefinisikan sebagai keamanan negara dari serangan militer, bukan keamanan individu dari kelaparan, kekerasan domestik, atau pemerkosaan.
Mengungkap yang Tak Terlihat
Dengan menggunakan kacamata gender, kita bisa melihat realitas politik global yang sama sekali berbeda.
Pertama, Teori Feminisme menyoroti bagaimana kekerasan seksual dan pemerkosaan secara sistematis berfungsi sebagai senjata perang untuk meneror dan menghancurkan komunitas, sebuah fakta yang lama teori tradisional abaikan.
Kedua, teori ini mendorong pelibatan perempuan secara aktif dalam proses perdamaian. Ini bukan hanya soal kesetaraan, tetapi soal efektivitas. Studi membuktikan bahwa perjanjian damai cenderung lebih bertahan lama jika perempuan terlibat dalam negosiasinya. Hal ini yang mendasari lahirnya Resolusi Dewan Keamanan PBB 1325, yang menyerukan agar perempuan berpartisipasi di semua level pengambilan keputusan konflik.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Kesimpulan
Teori Feminisme tidak hanya meminta kita untuk “menambahkan perempuan” ke dalam analisis. Teori ini menuntut kita untuk memikirkan ulang secara fundamental apa arti kekuatan, keamanan, dan negara. Tanpa menggunakan kacamata analisis gender, kita sebenarnya hanya melihat setengah dari gambaran dunia. Kita tidak akan pernah memahami keamanan global secara utuh jika kita terus mengabaikan pengalaman separuh populasi di dalamnya.
Penulis : Ahmad Haris Kurnia
Editor : Ahmad Haris Kurnia





















