JAKARTA, POSNEWS.CO.ID — Dalam retorika politik, perang dagang seringkali terdengar sebagai alat tawar yang tangguh. Para pemimpin mungkin mengklaim bahwa memberlakukan tarif tinggi adalah cara untuk “menghukum” negara lawan dan melindungi industri domestik.
Namun, analisis ekonomi menunjukkan gambaran yang jauh lebih kompleks. Mitos bahwa negara lawan yang “membayar” tarif sudah lama runtuh. Realitasnya, dampak tarif adalah bumerang yang mendarat langsung di kantong konsumen domestik.
Mitos vs. Fakta: Siapa Sebenarnya yang Membayar Tarif?
Mitos yang paling sering digaungkan adalah bahwa tarif impor “dibayar oleh negara lawan”, misalnya Tiongkok dalam perang dagang AS-Tiongkok. Ini adalah kesalahpahaman fundamental atas cara kerja tarif.
Kenyataannya, tarif adalah pajak atas barang impor. Pemerintah memungut pajak ini dari perusahaan importir di dalam negeri (misalnya, perusahaan AS yang membeli komponen dari Tiongkok). Importir ini, untuk menjaga margin keuntungan mereka, hampir selalu meneruskan seluruh biaya tambahan tersebut kepada konsumen akhir.
Hasilnya adalah inflasi. Harga barang-barang di toko—mulai dari elektronik hingga pakaian—menjadi lebih mahal, yang secara langsung menurunkan daya beli masyarakat.
Kerugian bagi Eksportir Domestik
Selain itu, perang dagang jarang terjadi satu arah. Negara yang menjadi target tarif hampir pasti akan membalas dengan tarif mereka sendiri. Ini menciptakan efek bumerang yang menyakitkan bagi produsen di negara pemulai perang.
Contoh paling jelas terlihat dalam perang dagang AS-Tiongkok. Ketika AS memberlakukan tarif pada barang-barang manufaktur Tiongkok, Tiongkok membalas dengan menargetkan produk pertanian AS.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Akibatnya, eksportir domestik, seperti petani kedelai di AS, tiba-tiba kehilangan akses ke pasar ekspor terbesar mereka. Alih-alih melindungi pekerja domestik, tarif balasan justru menghancurkan lapangan kerja di sektor ekspor.
Konsumen sebagai Korban Utama
Analisis data dari berbagai lembaga ekonomi, termasuk IMF dan studi akademis, konsisten menunjukkan satu hal: tidak ada pemenang sejati dalam perang dagang.
Sistem ini menciptakan ekonomi yang kurang efisien, merusak rantai pasok global, dan mengurangi persaingan sehat. Pada akhirnya, perang dagang merugikan kedua belah pihak. Namun, beban terberat tidak jatuh ke politisi, melainkan ke konsumen yang menghadapi harga lebih tinggi (inflasi) dan produsen domestik yang kehilangan pasarnya.
Penulis : Ahmad Haris Kurnia
Editor : Ahmad Haris Kurnia





















