JAKARTA, POSNEWS.CO.ID – Kita sering mengukur tragedi perang dari jumlah tentara yang tewas atau tank yang hancur. Namun, wajah perang modern telah berubah drastis. Jika pada Perang Dunia I korban didominasi oleh kombatan, maka PBB memperkirakan kini 90% korban perang modern adalah warga sipil.
Di antara warga sipil tersebut, kelompok yang paling menderita adalah perempuan dan anak-anak. Akibatnya, mereka bukan lagi sekadar “korban sampingan” (collateral damage), melainkan menjadi target strategis yang menanggung dampak paling brutal dan jangka panjang dari konflik.
Perempuan dalam Konflik: Senjata dan Beban Ganda
Perempuan mengalami perang dengan cara yang unik dan berlapis. Mereka menghadapi ancaman yang seringkali diabaikan dalam strategi besar:
- Kekerasan Seksual sebagai Senjata Perang: Ini adalah fakta yang paling mengerikan. Pihak-pihak yang bertikai secara sistematis menggunakan pemerkosaan dan perbudakan seksual sebagai senjata perang. Tindakan ini bukan efek samping, melainkan taktik yang disengaja untuk menghancurkan martabat, meneror komunitas, merusak tatanan sosial musuh, dan melakukan pembersihan etnis.
- Beban sebagai Pencari Nafkah: Kedua, ketika para pria pergi berperang atau terbunuh, perempuan seringkali harus mengambil alih peran sebagai pencari nafkah tunggal. Oleh karena itu, mereka harus merawat anak-anak dan orang tua di tengah ekonomi yang hancur, infrastruktur yang lumpuh, dan ancaman fisik yang konstan.
- Pengungsi: Terakhir, perempuan dan anak-anak mendominasi populasi pengungsi dan pencari suaka global. Selama pelarian, mereka menghadapi risiko eksploitasi, perdagangan manusia, dan kekerasan lebih lanjut di kamp-kamp pengungsian yang padat.
Anak-anak dalam Konflik: Generasi yang Hilang
Anak-anak adalah korban yang paling tidak bisa membela diri. Bahkan, dampak perang menghancurkan masa depan mereka secara permanen, menciptakan “generasi yang hilang”:
- Tentara Anak: Sebagai contoh, kelompok-kelompok bersenjata secara paksa merekrut puluhan ribu anak-anak. Mereka memaksa anak-anak ini menjadi tentara, mata-mata, kuli angkut, atau dalam kasus anak perempuan, menjadi “istri” atau budak seks. Akibatnya, anak-anak ini kehilangan masa kecil mereka dan mengalami kekerasan ekstrem.
- Trauma dan Kehilangan Pendidikan: Selain itu, jutaan anak kehilangan akses ke pendidikan karena sekolah hancur atau menjadi tidak aman. Mereka juga menderita trauma psikologis jangka panjang akibat menyaksikan kekerasan, kehilangan keluarga, dan hidup dalam ketakutan terus-menerus.
- Kematian Akibat Krisis Sekunder: Tentu saja, anak-anak menjadi korban langsung kematian akibat bom dan peluru. Namun, jumlah yang lebih besar meninggal karena krisis sekunder: kelaparan, malnutrisi, dan penyakit (seperti diare atau kolera) yang seharusnya bisa dicegah, yang terjadi akibat hancurnya infrastruktur air bersih dan layanan kesehatan.
Peran Bantuan Kemanusiaan: Berpacu Melawan Taktik Perang
Di tengah kekacauan ini, PBB (seperti UNICEF) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) berjuang memberikan perlindungan. Akan tetapi, mereka menghadapi tantangan besar.
Seringkali, pihak yang bertikai secara sengaja memblokir akses bantuan kemanusiaan sebagai taktik perang untuk membuat populasi sipil kelaparan. Selain itu, pekerja bantuan sendiri sering menjadi target serangan. Meskipun demikian, organisasi-organisasi ini terus berupaya menyediakan ruang aman, layanan trauma psikologis, dan sekolah darurat bagi anak-anak.
Realitas Penderitaan di Lapangan
Kita bisa melihat realitas ini di banyak tempat. Misalnya, di Republik Demokratik Kongo, kekerasan seksual telah digunakan sebagai senjata perang selama puluhan tahun, menghancurkan kehidupan jutaan perempuan.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Sementara itu, di Yaman, blokade dan perang yang berlarut-larut telah menciptakan krisis kelaparan terburuk di dunia. Di sana, anak-anak meninggal setiap beberapa menit karena malnutrisi akut yang sepenuhnya dapat dicegah—sebuah dampak langsung dari keputusan politik dan militer.
Mendesaknya Perlindungan Kelompok Rentan
Pada akhirnya, perang modern menunjukkan bahwa kita gagal melindungi mereka yang paling rentan. Meskipun Hukum Humaniter Internasional (seperti Konvensi Jenewa) secara teknis melarang penargetan warga sipil, namun realitas di lapangan menunjukkan kegagalan total dari sistem tersebut.
Oleh karena itu, komunitas internasional harus bergerak melampaui sekadar retorika. Harus ada akuntabilitas nyata bagi pelaku kekerasan seksual dan perekrut tentara anak.
Kita harus menjadikan perlindungan perempuan dan anak-anak bukan sebagai catatan kaki (footnote) dalam negosiasi damai, tetapi sebagai prioritas utama dan centerpiece dari hukum humaniter dan segala upaya rekonstruksi pasca-konflik.
Penulis : Ahmad Haris Kurnia
Editor : Ahmad Haris Kurnia





















