JAKARTA, POSNEWS.CO.ID — Kita hidup di era konsumsi mode tercepat dalam sejarah. Brand seperti Shein, H&M, atau Zara tidak lagi mengikuti empat musim; mereka menciptakan musim baru setiap minggu. Dengan ribuan desain baru yang terunggah ke aplikasi setiap hari, tren terbaru terus-menerus menggoda kita dengan harga yang sangat murah. Sebuah kaus seharga Rp 50.000, sebuah dress seharga Rp 100.000.
Harga yang murah dan tren yang terus berganti ini memicu budaya konsumsi sekali pakai buang. Namun, apa yang ada di balik kecepatan dan harga yang “terlalu indah untuk jadi kenyataan” ini?
Candu Kenikmatan Instan
Daya tarik fast fashion berakar kuat pada psikologi kita. Membeli baju baru yang murah memberikan dopamine rush, atau lonjakan hormon kebahagiaan, yang serupa dengan memakan cokelat atau mendapat like di media sosial. Ini adalah instant gratification (kepuasan instan).
Kita tidak membeli pakaian untuk bertahan lama; kita membeli sensasi dari barang baru. Brand-brand ini ahli dalam menciptakan FOMO (Fear of Missing Out). Tren berganti begitu cepat sehingga kita merasa harus membeli sekarang juga. Akibatnya, ini menciptakan siklus kecanduan belanja yang konstan untuk mengejar tren terbaru.
Sisi Gelap di Balik Label Harga
Namun, kenikmatan instan itu memiliki biaya tersembunyi yang sangat besar, yang tidak tercantum di label harga. Sisi gelap ini memiliki dua wajah yang mengerikan: lingkungan dan sosial.
Pertama, dampak lingkungan. Untuk membuat pakaian semurah itu, pabrik menggunakan poliester (turunan plastik) dan pewarna tekstil kimia yang mencemari sumber air bersih. Karena kualitasnya yang rendah, pakaian ini tidak tahan lama. Rata-rata orang hanya memakai pakaian fast fashion beberapa kali sebelum membuangnya, yang menciptakan gunung sampah tekstil yang tidak bisa terurai dan memenuhi tempat pembuangan akhir.
Kedua, masalah sosial. Harga Rp 50.000 itu hanya mungkin karena perusahaan tidak membayar pihak tertentu dengan layak. Model bisnis ini bergantung pada upah pekerja garmen yang sangat rendah di negara-negara berkembang, jam kerja yang tidak manusiawi, dan kondisi pabrik yang seringkali tidak aman.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Biaya Sebenarnya dari Kaus Rp 50.000
Pada akhirnya, fast fashion adalah sebuah ilusi. Kita merasa hemat karena membeli kaus seharga Rp 50.000. Namun, biaya sebenarnya dari kaus itu jauh lebih mahal daripada yang kita kira.
Lingkungan kita yang semakin tercemar dan para pekerja di ujung lain rantai pasok-lah yang membayar biaya tersebut. Tren yang kilat ini menghasilkan sampah yang cepat, dan siklus ini menuntut kita untuk bertanya: apakah kepuasan 10 menit saat membeli sepadan dengan kerusakan jangka panjang yang ditimbulkannya?
Penulis : Ahmad Haris Kurnia
Editor : Ahmad Haris Kurnia





















