JAKARTA, POSNEWS.CO.ID – Dahulu, kita menilai olahraga menggunakan “mata”. Kita percaya pada intuisi pelatih dan “bakat” yang para pemandu bakat (scout) lihat. Seorang pemain dianggap hebat karena ia terlihat hebat. Akan tetapi, semua itu berubah berkat satu tim bisbol miskin.
Kisah “Moneyball” adalah titik awal revolusi ini. Pada awal 2000-an, Oakland Athletics, sebuah tim bisbol dengan anggaran kecil, menantang tim-tim raksasa. Manajer mereka, Billy Beane, mengabaikan scout tradisional. Sebaliknya, ia menggunakan analisis data (statistik sabermetrics) untuk menemukan pemain-pemain yang statistiknya bagus meskipun penampilannya tidak meyakinkan (seperti on-base percentage).
Singkatnya, Beane membuktikan bahwa kalkulasi data yang objektif mampu mengalahkan intuisi subjektif dan anggaran yang jauh lebih besar. Sejak saat itu, olahraga tidak pernah sama lagi.
xG, Shot Chart, dan Biometrik
Kini, prinsip Moneyball telah menyebar dan berkembang jauh lebih canggih di semua cabang olahraga:
- xG (Expected Goals) di Sepak Bola: Di masa lalu, kita hanya menghitung “Total Tembakan”. Sekarang, metrik itu dianggap usang. Klub-klub top menggunakan Expected Goals (xG). Secara esensial, xG memberi nilai (misal 0.01 hingga 1.0) pada setiap tembakan berdasarkan kualitas peluangnya (jarak, sudut, posisi bek). Akibatnya, pelatih kini tahu bahwa menembak dari jarak 30 meter (xG rendah) adalah pemborosan penguasaan bola.
- Shot Chart di Basket (NBA): Demikian pula di NBA. Analisis data shot chart menunjukkan dengan sangat jelas bahwa tembakan paling efisien adalah tembakan tiga angka (three-pointer) atau layup/dunk (jarak dekat). Sementara itu, tembakan jarak menengah (mid-range) adalah tembakan paling tidak efisien.
- Sensor Biometrik (Beban Pemain): Lebih jauh lagi, data kini tidak hanya mengukur performa, tetapi juga kondisi fisik. Pemain kini mengenakan rompi GPS dan sensor biometrik saat latihan. Tim dapat memantau “beban” (load) latihan, tingkat kelelahan, dan risiko cedera secara real-time.
Matinya “Seni” Jarak Menengah
Tentu saja, banjir data ini mengubah strategi permainan secara fundamental:
- Matinya Tembakan Jarak Menengah: Di NBA, tembakan mid-range yang dulu menjadi senjata andalan Michael Jordan, kini hampir mati. Analisis data membuktikan efisiensinya terlalu rendah. Akibatnya, pemain yang sering mengambil tembakan ini akan dianggap merugikan tim secara statistik, betapapun indahnya gerakan fadeaway mereka.
- Rekrutmen Berbasis Algoritma: Selain itu, departemen scouting kini diisi oleh ilmuwan data. Klub-klub progresif (seperti Liverpool di era Michael Edwards, atau Brentford) meraih sukses besar. Mereka merekrut pemain bukan berdasarkan nama besar, melainkan karena angka-angka tersembunyi mereka cocok dengan “algoritma” dan kebutuhan sistem permainan pelatih.
Apakah Data Membunuh Keindahan Olahraga?
Akan tetapi, tidak semua orang bahagia dengan “pemberontakan angka” ini. Bagi para purist (penikmat olahraga murni), revolusi data telah “membunuh” keindahan, spontanitas, dan elemen “manusiawi” dari olahraga.
Mereka berargumen bahwa jika semua tim mengikuti data yang sama (misalnya, hanya mengambil 3 angka atau layup di NBA), maka semua tim akan bermain dengan gaya yang serupa. Permainan menjadi robotik dan membosankan.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Apakah “sihir” individu—seperti dribble ajaib Messi atau insting predator Ronaldo—bisa ditangkap sepenuhnya oleh metrik xG? Kritikus khawatir kita terlalu mengandalkan angka dan melupakan bahwa terkadang olahraga dimenangkan oleh insting dan momen ajaib yang tidak logis.
Keseimbangan Antara Intuisi dan Kalkulasi
Pada akhirnya, perdebatan ini adalah tentang mencari keseimbangan. Menolak data di era modern adalah kebodohan; itu sama saja dengan mengabaikan informasi krusial. Intuisi scout tradisional terbukti penuh bias.
Namun, mengandalkan data secara buta juga berbahaya. Data hanya mencatat apa yang telah terjadi di masa lalu; ia tidak selalu bisa memprediksi kejeniusan yang melanggar pola.
Maka, pelatih dan manajer terbaik di era Moneyball adalah mereka yang mampu mensintesis keduanya. Mereka menggunakan kalkulasi mesin sebagai masukan untuk mempertajam intuisi manusiawi mereka. Mereka tahu kapan harus mempercayai angka, dan kapan harus mempercayai insting juara di lapangan.
Penulis : Ahmad Haris Kurnia
Editor : Ahmad Haris Kurnia





















