JAKARTA, POSNEWS.CO.ID – Dari pertemuan Conference of the Parties (COP) yang digelar setiap tahun hingga lahirnya Perjanjian Paris (Paris Agreement) pada 2015, isu perubahan iklim telah berevolusi dari sekadar masalah lingkungan menjadi agenda utama diplomasi global. Para pemimpin dunia berkumpul, berjanji memangkas emisi, dan mengalokasikan dana miliaran dolar. Tujuannya terdengar mulia: menyelamatkan planet ini dari bencana ekologis.
Namun, di balik jabat tangan dan komitmen bersama, diplomasi iklim kini menjelma menjadi arena baru pertarungan kekuasaan. Isu lingkungan tidak lagi hanya soal sains, tetapi juga tentang pengaruh geopolitik, keunggulan ekonomi, dan pertarungan narasi antara negara-negara di dunia.
Negara Maju vs. Negara Berkembang: Siapa yang Harus Membayar?
Akar ketegangan dalam diplomasi iklim terletak pada perdebatan klasik: siapa yang paling bertanggung jawab atas krisis ini? Negara-negara maju, yang telah menikmati kemakmuran dari revolusi industri selama berabad-abad, adalah penyumbang emisi karbon historis terbesar. Di sisi lain, negara-negara berkembang berargumen bahwa mereka berhak mengejar pertumbuhan ekonomi, bahkan jika itu berarti meningkatkan jejak karbon mereka.
Perdebatan ini berujung pada isu pendanaan. Negara maju berjanji menyalurkan dana iklim sebesar US$100 miliar per tahun kepada negara berkembang untuk membantu mereka beradaptasi dan beralih ke energi bersih. Namun, janji ini sering kali tidak terpenuhi sepenuhnya, memicu ketidakpercayaan dan tuduhan bahwa negara kaya tidak serius menanggung tanggung jawab historis mereka.
Energi Terbarukan dan ‘Greenwashing’ Politik
Di tengah krisis, energi terbarukan menjadi komoditas diplomasi yang sangat kuat. Negara yang menguasai teknologi panel surya, turbin angin, atau baterai listrik memiliki pengaruh besar dalam membentuk masa depan energi global. China, misalnya, telah menjadi pemain dominan dalam rantai pasok energi bersih, memberikannya keunggulan strategis atas negara-negara Barat.
Namun, tidak semua komitmen hijau benar-benar tulus. Banyak negara dituduh melakukan greenwashing, yaitu praktik memoles citra menjadi ramah lingkungan tanpa melakukan perubahan fundamental. Mereka mungkin mengumumkan target emisi yang ambisius di forum internasional, tetapi di dalam negeri tetap memberikan subsidi besar untuk bahan bakar fosil. Diplomasi iklim pun rentan menjadi panggung retorika politik.
Posisi Indonesia di Tengah Arus Transisi Global
Sebagai negara kepulauan dengan hutan hujan tropis yang luas dan cadangan nikel melimpah, Indonesia berada di posisi yang unik sekaligus dilematis. Di satu sisi, Indonesia adalah salah satu negara paling rentan terhadap dampak perubahan iklim, seperti kenaikan permukaan air laut dan cuaca ekstrem.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Di sisi lain, Indonesia memiliki sumber daya strategis untuk transisi energi global, terutama nikel sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik. Pemerintah menghadapi tantangan besar untuk menyeimbangkan antara kebutuhan pembangunan ekonomi, komitmen mengurangi emisi, dan tekanan dari kekuatan-kekuatan besar yang berkepentingan dengan sumber daya alamnya. Diplomasi iklim bagi Indonesia adalah tentang mencari jalan tengah antara kedaulatan energi dan tanggung jawab global.
Benarkah Ini tentang Menyelamatkan Bumi?
Pada akhirnya, diplomasi iklim meninggalkan sebuah pertanyaan fundamental: apakah semua ini benar-benar bertujuan untuk menyelamatkan bumi, atau sekadar menjadi cara baru bagi negara-negara kuat untuk mempertahankan dominasi mereka di tatanan dunia yang berubah?
Ketika isu lingkungan menjadi alat tawar-menawar politik dan ekonomi, tujuan utamanya berisiko terpinggirkan. Tanpa keadilan dan kesetaraan, diplomasi iklim hanya akan menjadi pertarungan kekuasaan yang mengorbankan masa depan planet ini.
Penulis : Ahmad Haris Kurnia
Editor : Ahmad Haris Kurnia