Diplomasi Iklim: Selamatkan Bumi atau Panggung Pertarungan Kekuasaan Baru?

Rabu, 15 Oktober 2025 - 16:45 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ilustrasi, Masalah Perubahan Iklim tidak Sesimpel Menyelamatkan Lingkungan, Namun Ada Gesekan Kepentingan di Belakangnya. Dok: Istimewa

Ilustrasi, Masalah Perubahan Iklim tidak Sesimpel Menyelamatkan Lingkungan, Namun Ada Gesekan Kepentingan di Belakangnya. Dok: Istimewa

JAKARTA, POSNEWS.CO.ID – Dari pertemuan Conference of the Parties (COP) yang digelar setiap tahun hingga lahirnya Perjanjian Paris (Paris Agreement) pada 2015, isu perubahan iklim telah berevolusi dari sekadar masalah lingkungan menjadi agenda utama diplomasi global. Para pemimpin dunia berkumpul, berjanji memangkas emisi, dan mengalokasikan dana miliaran dolar. Tujuannya terdengar mulia: menyelamatkan planet ini dari bencana ekologis.

Namun, di balik jabat tangan dan komitmen bersama, diplomasi iklim kini menjelma menjadi arena baru pertarungan kekuasaan. Isu lingkungan tidak lagi hanya soal sains, tetapi juga tentang pengaruh geopolitik, keunggulan ekonomi, dan pertarungan narasi antara negara-negara di dunia.

Negara Maju vs. Negara Berkembang: Siapa yang Harus Membayar?

Akar ketegangan dalam diplomasi iklim terletak pada perdebatan klasik: siapa yang paling bertanggung jawab atas krisis ini? Negara-negara maju, yang telah menikmati kemakmuran dari revolusi industri selama berabad-abad, adalah penyumbang emisi karbon historis terbesar. Di sisi lain, negara-negara berkembang berargumen bahwa mereka berhak mengejar pertumbuhan ekonomi, bahkan jika itu berarti meningkatkan jejak karbon mereka.

Perdebatan ini berujung pada isu pendanaan. Negara maju berjanji menyalurkan dana iklim sebesar US$100 miliar per tahun kepada negara berkembang untuk membantu mereka beradaptasi dan beralih ke energi bersih. Namun, janji ini sering kali tidak terpenuhi sepenuhnya, memicu ketidakpercayaan dan tuduhan bahwa negara kaya tidak serius menanggung tanggung jawab historis mereka.

Baca Juga :  Presiden Prabowo: Indonesia Kekurangan 70 Ribu Dokter Spesialis, Perlu Strategi Cepat

Energi Terbarukan dan ‘Greenwashing’ Politik

Di tengah krisis, energi terbarukan menjadi komoditas diplomasi yang sangat kuat. Negara yang menguasai teknologi panel surya, turbin angin, atau baterai listrik memiliki pengaruh besar dalam membentuk masa depan energi global. China, misalnya, telah menjadi pemain dominan dalam rantai pasok energi bersih, memberikannya keunggulan strategis atas negara-negara Barat.

Namun, tidak semua komitmen hijau benar-benar tulus. Banyak negara dituduh melakukan greenwashing, yaitu praktik memoles citra menjadi ramah lingkungan tanpa melakukan perubahan fundamental. Mereka mungkin mengumumkan target emisi yang ambisius di forum internasional, tetapi di dalam negeri tetap memberikan subsidi besar untuk bahan bakar fosil. Diplomasi iklim pun rentan menjadi panggung retorika politik.

Posisi Indonesia di Tengah Arus Transisi Global

Sebagai negara kepulauan dengan hutan hujan tropis yang luas dan cadangan nikel melimpah, Indonesia berada di posisi yang unik sekaligus dilematis. Di satu sisi, Indonesia adalah salah satu negara paling rentan terhadap dampak perubahan iklim, seperti kenaikan permukaan air laut dan cuaca ekstrem.

Di sisi lain, Indonesia memiliki sumber daya strategis untuk transisi energi global, terutama nikel sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik. Pemerintah menghadapi tantangan besar untuk menyeimbangkan antara kebutuhan pembangunan ekonomi, komitmen mengurangi emisi, dan tekanan dari kekuatan-kekuatan besar yang berkepentingan dengan sumber daya alamnya. Diplomasi iklim bagi Indonesia adalah tentang mencari jalan tengah antara kedaulatan energi dan tanggung jawab global.

Benarkah Ini tentang Menyelamatkan Bumi?

Pada akhirnya, diplomasi iklim meninggalkan sebuah pertanyaan fundamental: apakah semua ini benar-benar bertujuan untuk menyelamatkan bumi, atau sekadar menjadi cara baru bagi negara-negara kuat untuk mempertahankan dominasi mereka di tatanan dunia yang berubah?

Ketika isu lingkungan menjadi alat tawar-menawar politik dan ekonomi, tujuan utamanya berisiko terpinggirkan. Tanpa keadilan dan kesetaraan, diplomasi iklim hanya akan menjadi pertarungan kekuasaan yang mengorbankan masa depan planet ini.

Penulis : Ahmad Haris Kurnia

Editor : Ahmad Haris Kurnia

Follow WhatsApp Channel www.posnews.co.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Dialog dengan Diri Sendiri: Kekuatan Tersembunyi dari Menulis Jurnal Beberapa Menit Setiap Malam
Pelajaran dari Filsafat Stoa: Menemukan Ketenangan di Tengah Kekacauan
Kesendirian Sebagai Sumber Kekuatan
Menjinakkan Pikiran: Seni Melawan Overthinking di Malam Hari
Istri Sadis di Jakarta Barat Potong Kemaluan Suami Gara-Gara Chat Mesra
Viral Anggota TNI AL Pukul Driver Ojol di Grogol, Langsung Diperiksa
Natalius Pigai Desak DPR, Korupsi Harus Dianggap Pelanggaran HAM di Indonesia
Foto di Tebet Eco Park Gratis, Pemprov DKI Tegaskan Kecuali untuk Komersial

Berita Terkait

Selasa, 21 Oktober 2025 - 21:19 WIB

Dialog dengan Diri Sendiri: Kekuatan Tersembunyi dari Menulis Jurnal Beberapa Menit Setiap Malam

Selasa, 21 Oktober 2025 - 21:02 WIB

Pelajaran dari Filsafat Stoa: Menemukan Ketenangan di Tengah Kekacauan

Selasa, 21 Oktober 2025 - 20:47 WIB

Kesendirian Sebagai Sumber Kekuatan

Selasa, 21 Oktober 2025 - 20:32 WIB

Menjinakkan Pikiran: Seni Melawan Overthinking di Malam Hari

Selasa, 21 Oktober 2025 - 20:07 WIB

Istri Sadis di Jakarta Barat Potong Kemaluan Suami Gara-Gara Chat Mesra

Berita Terbaru

Ilustrasi, Saat dunia terlelap, jangan takut pada hening. Justru di sanalah Anda bisa menemukan kekuatan sejati dan terhubung kembali dengan diri sendiri. Dok: Istimewa.

KESEHATAN

Kesendirian Sebagai Sumber Kekuatan

Selasa, 21 Okt 2025 - 20:47 WIB