JAKARTA, POSNEWS.CO.ID — Secara ideal, bantuan luar negeri atau Bantuan Pembangunan Resmi (ODA) mengalir ke negara berkembang dengan satu tujuan mulia: mengentaskan kemiskinan. Dana ini bertujuan membangun sekolah, membiayai program vaksinasi, dan menyediakan infrastruktur air bersih.
Namun, di balik tujuan ideal ini, terdapat perdebatan puluhan tahun yang sengit: apakah bantuan ini benar-benar membantu, atau justru menjerat penerimanya?
Pro vs Kontra
Para pendukungnya menunjuk pada kisah sukses yang tak terbantahkan. Program kesehatan global, misalnya, telah berhasil menekan angka kematian akibat malaria dan HIV/AIDS secara drastis. Bantuan pembangunan infrastruktur dasar seperti jalan dan jembatan juga telah membuka akses ekonomi di banyak wilayah terpencil.
Namun, para kritikus memiliki argumen yang sama kuatnya. Mereka berpendapat bahwa aliran bantuan yang terus-menerus dapat menciptakan ketergantungan, melemahkan pemerintah lokal, dan menunda reformasi ekonomi. Lebih buruk lagi, bantuan ini sering bocor akibat korupsi. Ada pula masalah tied aid, di mana negara donor memberikan bantuan dengan syarat penerima harus membeli barang atau jasa dari negara donor, yang pada akhirnya lebih menguntungkan donor itu sendiri.
Dari Proyek ke Bantuan Tunai
Menjawab kritik-kritik tersebut, lanskap bantuan luar negeri kini mulai bergeser. Muncul tren baru yang menjanjikan efektivitas dan pemberdayaan lebih.
Salah satu yang paling menonjol adalah direct cash transfers (bantuan tunai langsung). Alih-alih mengelola proyek yang rumit, lembaga donor memberikan uang tunai langsung kepada rumah tangga miskin. Pendekatan ini memberi mereka kepercayaan dan kebebasan untuk mengelola kebutuhannya sendiri. Selain itu, fokus juga bergeser dari sekadar membangun fisik ke capacity building—memperkuat tata kelola dan keterampilan lokal agar negara penerima dapat mandiri.
Desain dan Tata Kelola adalah Kunci
Pada akhirnya, bantuan luar negeri bukanlah solusi ajaib yang seragam. Efektivitasnya sangat bergantung pada desain program. Desain bantuan yang baik, transparan, dan fokus pada pemberdayaan bisa menjadi katalisator perubahan.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebaliknya, pengelolaan bantuan yang buruk dan sarat kepentingan politik donor bisa menjadi racun. Banyak ahli menekankan bahwa kunci sesungguhnya terletak pada tata kelola yang baik dan kepemilikan program oleh negara berkembang itu sendiri.
Penulis : Ahmad Haris Kurnia
Editor : Ahmad Haris Kurnia





















