JAKARTA, POSNEWS.CO.ID — Selama puluhan tahun, teori perdagangan bebas adalah janji manis yang para ekonom gaungkan di panggung dunia. Teorinya sederhana dan elegan: jika setiap negara fokus pada apa yang terbaik yang bisa mereka produksi (spesialisasi) dan saling berdagang, maka semua negara akan untung.
Konsumen akan mendapatkan barang yang lebih murah, dan efisiensi global akan meningkat.
Globalisasi, yang perdagangan bebas ini dorong, telah mengubah dunia. Namun, janji manis itu ternyata memiliki realitas yang pahit. Globalisasi tidak menciptakan “semua pemenang”. Sebaliknya, ia secara brutal memisahkan “pemenang” dan “pecundang”, tidak hanya antar negara, tetapi di dalam negeri masing-masing.
Konsumen dan Korporasi
Tidak diragukan lagi, ada pemenang besar dari globalisasi.
- Konsumen Global: Kita semua adalah pemenangnya. Kita menikmati smartphone canggih, pakaian fast fashion, dan peralatan elektronik dengan harga yang jauh lebih murah daripada jika pabrik harus memproduksinya di dalam negeri.
- Korporasi Multinasional (MNC): Mereka adalah pemenang terbesarnya. Globalisasi memungkinkan mereka memindahkan pabrik (outsourcing) ke negara-negara dengan upah buruh murah (seperti Tiongkok, Vietnam, atau Bangladesh). Mereka memproduksi barang dengan biaya sangat rendah dan menjualnya di pasar negara maju dengan margin keuntungan yang sangat tinggi.
Buruh dan Industri Lokal
Namun, efisiensi ini harus kelompok lain bayar mahal, yang seringkali suaranya tidak terdengar.
- Buruh di Negara Maju: Jutaan buruh pabrik di Amerika Serikat, Inggris, dan Eropa menjadi pecundang terbesar. Seluruh kota industri (seperti “Rust Belt” di AS) hancur karena pabrik-pabrik tempat mereka bekerja selama puluhan tahun tutup dan pindah ke Asia. Mereka mengalami PHK massal dan keterampilan mereka tiba-tiba tidak lagi relevan.
- Industri Lokal di Negara Berkembang: Di sisi lain, industri lokal di negara berkembang (misalnya, produsen tekstil atau petani) seringkali tidak siap dan “kalah saing”. Barang-barang impor murah menghantam mereka dan membanjiri pasar domestik, membuat mereka gulung tikar.
Kebangkitan Proteksionisme
Selama bertahun-tahun, elit politik di ibu kota mengabaikan keluhan para “pecundang” globalisasi ini, yang sibuk menikmati keuntungan perdagangan bebas. Kemarahan yang terpendam ini akhirnya meledak menjadi kekuatan politik baru.
Kebangkitan politisi populis seperti Donald Trump di AS (dengan slogan “America First”) atau gerakan Brexit di Inggris, adalah bukti nyata dari dampak ini.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Para politisi ini berhasil merebut kekuasaan dengan memanfaatkan kemarahan para buruh pabrik yang merasa sistem telah meninggalkan dan mengkhianati mereka. Mereka datang dengan janji proteksionisme: menaikkan tarif, “membawa pulang” pabrik, dan menyalahkan negara lain (seperti Tiongkok atau Meksiko) atas hilangnya pekerjaan.
Globalisasi telah membuktikan bahwa mengabaikan “pecundang” di dalam negeri demi efisiensi ekonomi adalah resep jitu untuk memicu ketidakstabilan politik.
Penulis : Ahmad Haris Kurnia
Editor : Ahmad Haris Kurnia





















