JAKARTA, POSNEWS.CO.ID — Transisi global menuju ekonomi hijau—mulai dari mobil listrik hingga panel surya—sedang berjalan cepat. Namun, revolusi bersih ini sangat bergantung pada pasokan material mentah yang spesifik: mineral kritis.
Mineral-mineral ini, seperti litium, kobalt, nikel, dan kelompok rare earths (logam tanah jarang), adalah fondasi dari teknologi hijau. Mereka adalah komponen vital untuk baterai berkapasitas tinggi, turbin angin, dan semua teknologi yang akan mendefinisikan abad ke-21.
Peta Dominasi Global
Perlombaan untuk mengamankan mineral ini memiliki dua arena utama: hulu (penambangan) dan hilir (pemrosesan). Di sektor hulu, sumber daya geografis tersebar. Misalnya, Kongo mendominasi pasokan kobalt, sementara Chili dan Australia memimpin produksi litium, dan Indonesia adalah raja nikel.
Namun, kekuatan sesungguhnya tidak terletak pada siapa yang menggali, tetapi siapa yang memurnikannya. Di sinilah satu negara mendominasi: Tiongkok. Mereka mengontrol sebagian besar kapasitas pemrosesan dan pemurnian global untuk hampir semua mineral kritis. Akibatnya, negara penambang pun seringkali harus mengirim bahan mentah mereka ke Tiongkok, menciptakan titik hambatan (bottleneck) strategis.
Perlombaan Rantai Pasok Baru
Ketergantungan yang mendalam pada satu negara ini membuat negara-negara Barat khawatir akan keamanan energi mereka. Sekarang, mereka berlomba untuk membangun rantai pasok independen.
Amerika Serikat meluncurkan Inflation Reduction Act (IRA). Ini bukan sekadar undang-undang iklim, tetapi kebijakan industri besar-besaran. UU ini memberi insentif fiskal yang kuat agar baterai diproduksi dan mineralnya dipasok dari Amerika Utara atau negara-negara sekutu.
Di seberang Atlantik, Uni Eropa merilis Critical Raw Materials Act (CRMA). Tujuannya serupa: mendiversifikasi sumber pasokan, meningkatkan daur ulang, dan secara agresif mengurangi ketergantungan strategis pada Tiongkok.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Minyak Baru Geopolitik
Selama abad ke-20, perebutan akses terhadap minyak membentuk geopolitik global. Kini, di abad ke-21, transisi energi secara ironis telah menciptakan medan persaingan geopolitik baru. Ketergantungan pada minyak digantikan oleh ketergantungan pada mineral kritis.
Kedaulatan energi di masa depan tidak lagi hanya soal siapa yang menguasai sumur minyak, tetapi siapa yang mengontrol rantai pasok dari tambang hingga baterai.
Penulis : Ahmad Haris Kurnia
Editor : Ahmad Haris Kurnia





















