JAKARTA, POSNEWS.CO.ID – Selama ribuan tahun, orang menganggap perbudakan sebagai fakta ekonomi yang normal. Hari ini, kini orang menganggap praktik itu tabu secara universal dan mengecamnya sebagai kejahatan kemanusiaan. Mengapa? Di medan perang, bom konvensional yang menewaskan ribuan orang mungkin dianggap sah secara hukum, tetapi mengapa orang melarang keras penggunaan senjata kimia (yang juga membunuh) dan menganggapnya sebagai pelanggaran berat?
Jika Realis mengatakan kekuatan militer menguasai dunia, dan Liberalis menunjuk pada institusi, lalu mengapa bahkan negara terkuat takut pada “aturan tak tertulis” ini? Teori Konstruktivisme, khususnya yang berfokus pada norma, memberikan jawaban yang berbeda dan mendalam.
Kekuatan Norma Internasional
Teori Konstruktivisme berargumen bahwa realitas politik tidak bersifat material semata (bukan hanya soal tank dan uang). Sebaliknya, masyarakatlah yang membangun realitas itu secara sosial (socially constructed). Bagi mereka, identitas, keyakinan, dan norma (standar perilaku yang diterima) jauh lebih penting.
Sebuah norma internasional adalah keyakinan kolektif tentang apa perilaku yang “benar” atau “wajar” bagi negara. Konstruktivis memperkenalkan konsep Siklus Hidup Norma (Norm Lifecycle) untuk menjelaskan bagaimana ide radikal bisa menjadi standar global:
- Norm Emergence: Norm entrepreneurs (pelaku norma), seperti aktivis, LSM, atau negara kecil, memunculkan sebuah ide baru (contoh: ide anti-perbudakan).
- Norm Cascade: Negara-negara penting mulai mengadopsi ide tersebut hingga mencapai titik kritis dan menyebar cepat.
- Internalization: Norma tersebut menjadi begitu lazim sehingga orang menaatinya secara otomatis. Orang kini menganggap pelanggaran norma itu “salah” atau “aneh”.
Dari Ranjau Darat hingga R2P
Contoh klasiknya adalah kampanye pelarangan ranjau darat pada 1990-an. Secara militer, ranjau darat adalah senjata murah dan efektif. Namun, koalisi LSM dan aktivis (norm entrepreneurs) berhasil membingkai ulang ranjau darat bukan sebagai senjata, tetapi sebagai pelanggaran kemanusiaan terhadap warga sipil. Mereka sukses menciptakan norma baru yang melarangnya.
Pergeseran norma kedaulatan adalah contoh lain. Dulu, kedaulatan negara bersifat absolut. Namun, setelah genosida di Rwanda dan Balkan, muncul norma baru: Responsibility to Protect (R2P). Norma ini menyatakan bahwa jika sebuah negara membantai rakyatnya sendiri, komunitas internasional memiliki hak, bahkan kewajiban, untuk campur tangan.
Kesimpulan
Bagi kaum Konstruktivis, kekuatan terbesar di dunia bukanlah senjata, tapi ide yang berhasil mengubah persepsi kolektif tentang apa yang “benar” dan “salah”.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Senjata bisa memenangkan perang, tetapi norma-lah yang menentukan apa yang layak orang perjuangkan dan bagaimana mereka boleh melakukan perang itu. Teori ini mengingatkan kita bahwa realitas tidak tetap. Kita bisa mengubah dunia dengan terlebih dahulu mengubah keyakinan kolektif kita.
Penulis : Ahmad Haris Kurnia
Editor : Ahmad Haris Kurnia





















