JAKARTA, POSNEWS.CO.ID — Sejumlah negara berkembang kini berada di ambang krisis utang yang parah. Fenomena ini bukan kebetulan, melainkan hasil dari perfect storm ekonomi yang terbentuk dari tiga faktor utama yang saling terkait.
Pertama, penumpukan utang besar-besaran selama era pandemi untuk membiayai stimulus kesehatan dan sosial. Kedua, kenaikan suku bunga agresif oleh The Fed (bank sentral AS) untuk melawan inflasi di negara maju. Kenaikan ini membuat biaya cicilan utang dalam dolar melonjak drastis. Ketiga, inflasi harga pangan dan energi global akibat perang di Ukraina yang semakin menekan anggaran negara.
Pergeseran Lanskap Kreditor
Krisis utang kali ini jauh lebih rumit dibandingkan krisis di masa lalu, seperti krisis utang Amerika Latin pada 1980-an. Penyebab utamanya adalah perubahan lanskap kreditor.
Di masa lalu, kreditor utama adalah lembaga multilateral (IMF/Bank Dunia) dan Klub Paris (kelompok negara-negara kreditor Barat). Namun, dalam dua dekade terakhir, Tiongkok telah muncul sebagai kreditor bilateral terbesar di dunia. Selain itu, porsi utang ke lembaga swasta (seperti pemegang obligasi internasional) juga meningkat tajam.
Pelajaran dari Krisis
Kita bisa melihat dampak nyata dari situasi ini di Sri Lanka dan Zambia. Sri Lanka mengalami kebangkrutan pada tahun 2022 setelah kehabisan cadangan devisa untuk membayar utang luar negeri dan impor bahan bakar. Negara itu terjerat utang besar dari berbagai pihak, termasuk Tiongkok, India, Jepang, dan pemegang obligasi swasta.
Zambia juga menjadi negara Afrika pertama yang gagal bayar (default) selama pandemi. Negara ini menghadapi kesulitan besar dalam merestrukturisasi utangnya karena harus bernegosiasi secara terpisah dengan Tiongkok dan kreditor swasta yang memiliki persyaratan berbeda.
Stagnasi Restrukturisasi
Inilah inti masalahnya: sulitnya restrukturisasi utang. Dengan begitu banyak pihak kreditor yang berbeda—Klub Paris, Tiongkok, dan swasta—masing-masing memiliki kepentingan dan aturan main yang berbeda.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Tidak ada mekanisme tunggal untuk menyatukan mereka. Akibatnya, proses negosiasi menjadi sangat lambat dan rumit. Negara-negara miskin yang terjebak di tengah situasi ini tidak bisa mendapatkan keringanan utang yang mereka butuhkan, menjerumuskan mereka lebih jauh ke dalam stagnasi ekonomi dan kemiskinan.
Penulis : Ahmad Haris Kurnia
Editor : Ahmad Haris Kurnia





















