JAKARTA, POSNEWS.CO.ID — Satu cuitan yang salah. Satu video yang disalahpahami. Akibatnya, dalam hitungan jam, ribuan akun anonim muncul untuk menyerang, menghujat, dan “mengadili” satu individu. Kita mengenal fenomena ini sebagai cancel culture atau dogpiling (pengeroyokan digital).
Rasionalitas seakan lenyap; amuk massa yang impulsif menggantikannya. Lalu, mengapa orang-orang yang mungkin baik hati dalam kehidupan nyata, bisa menjadi begitu beringas saat berada di kerumunan online? Sosiolog klasik Gustave Le Bon sudah memiliki jawabannya lebih dari seabad yang lalu.
Teori di Balik Amuk Massa
Dalam karyanya yang monumental, The Crowd: A Study of the Popular Mind (1895), Le Bon berpendapat bahwa individu mengalami transformasi psikologis radikal ketika bergabung dalam kerumunan. Akibatnya, identitas personal dan kapasitas intelektual mereka lenyap; “pikiran kolektif” (collective mind) menggantikannya.
Menurut Le Bon, kerumunan ini bersifat impulsif, mudah tersinggung, dan tidak rasional. Bahkan, mereka bertindak berdasarkan emosi, bukan akal sehat. Lebih lanjut, faktor utamanya adalah anonimitas—merasa tak terlihat membuat individu kehilangan rasa tanggung jawab moral.
Media Sosial sebagai Kerumunan Digital
Media sosial adalah kerumunan digital ciptaan Le Bon yang menjadi kenyataan. Sebagai contoh, platform seperti X (sebelumnya Twitter) atau kolom komentar Instagram adalah arena di mana ribuan individu anonim berkumpul. Anonimitas (melalui akun default atau buzzer) dan kecepatan penyebaran informasi menciptakan kondisi ideal bagi terbentuknya pikiran kolektif.
Oleh karena itu, “Kebenaran” tidak lagi penting; yang penting adalah kesamaan emosi. Saat satu tagar menjadi tren, itu adalah sinyal emosional yang menyatukan kerumunan. Kemudian, kerumunan itu bergerak secara impulsif untuk menghakimi dan menghukum. Individu pun kehilangan nalar kritisnya dan “menunggangi” gelombang emosi kolektif yang brutal.
Keadilan di Era Viralitas
Bahaya terbesar dari logika massa digital ini adalah hilangnya akal sehat individu. Sebab, dalam kerumunan, tidak ada ruang untuk nuansa atau proses check and balance. Pada akhirnya, viralitas menggantikan keadilan. Massa bisa “membatalkan” (cancelled) seseorang sebelum individu itu sempat memberi penjelasan.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Selain itu, ini menjadi tantangan besar bagi tatanan sosial di era digital. Ketika setiap individu bisa menjadi bagian dari massa penghakiman kapan saja, kita kehilangan pilar utama masyarakat yang rasional: tanggung jawab personal dan keadilan yang proporsional.
Penulis : Ahmad Haris Kurnia
Editor : Ahmad Haris Kurnia





















